Seperti tradisi tahun-tahun sebelumnya, jelajah Krakatau pada 27 Agustus 2016, berupa tour menjelajahi Gunung Anak Krakatau menggunakan kapal. Menurut informasi yang saya dengar dan baca, kegiatan ini akan diawali dengan acara Ngumbai Lawok yang dimeriahkan oleh puluhan perahu hias.
Sangat menarik. Unsur culture, nature, dan adventure berpadu dalam satu kegiatan. Ini akan menjadi sesuatu yang lain dari Tour Krakatau tahun sebelumnya yang hanya menyajikan Krakatau Jetski Adventure, keren tapi tanpa muatan budaya lokal.
Ngumbai Lawok adalah sebuah upacara adat yang banyak dilakukan oleh masyarakat Lampung Pesisir. Dalam praktiknya ngumbai lawok adalah berdo’a dan menyembelih kerbau yang kemudian kepalanya diarungkan ke laut. Ngumbai Lawok bermakna sedekah sebagai refleksi rasa syukur para nelayan yang telah diberi kelimpahan rejeki berupa ikan-ikan yang melimpah dan laut yang ramah selama satu tahun berjalan.
Gunung Anak Krakatau |
Saya berterima kasih pada disparekraf provinsi Lampung yang kembali mengundang saya pada kegiatan Jelajah Kratakau tahun ini. Meski sudah pernah merasakannya saat Tour Krakatau pada Festival Krakatau 2015 lalu, tapi antusiasme saya masih sama seperti pertama kali diajak. Menjadi pengunjung legal di Gunung Anak Krakatau itu sesuatu yang harus saya syukuri dan mesti dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Peserta Jelajah Krakatau 2016 terdiri dari blogger, fotografer, wartawan.Sangat sedikit dibanding peserta tahun lalu. Biar sedikit tapi diandalkan lho hoho |
Peserta Jelajah Krakatau 2016
Saya tidak tahu persis jumlah peserta yang diikutkan dalam kegiatan ini. Tapi yang pasti ada rombongan blogger, fotografer, dan jurnalis. Sisanya adalah sejumlah kru EO dan mungkin juga ada beberapa panitia dari dinas. Dari rombongan blogger, ada 20 orang peserta yang terdiri 10 blogger dari berbagai daerah yang diundang secara resmi oleh Disparekraf Prov. Lampung, dan 10 blogger lainnya yang diundang lewat EO Dyandra Promosindo.
Saya termasuk dalam rombongan blogger yang diundang oleh disparekraf provinsi Lampung. Selain saya (dari Jakarta), ada Lina Sasmita (Batam), Dian Radiata (Batam), Arie Ardiansyah (Jakarta), Rosanna Simanjuntak (Balikpapan), Atanasia Riant (Jogja), Hari JT (Babel), Haryadi Yansyah (Palembang), M. Arif Rahman “Maman” (Palembang), dan Indra Pradya (Lampung).
Baca tulisan saya sebelumnya: Blogger Festival Krakatau 2016
10 blogger undangan resmi disparekraf Provinsi Lampung tahun 2016 |
Jika 200 seat yang disediakan pantia dalam tur Krakatau ini berangkat semua, saya membayangkan jumlah kapal kayu (seperti tur Krakatau tahun 2015 lalu) yang akan digunakan sekitar 8 kapal (dengan perkiraan 1 kapal 25 orang). Tidak sebanyak tahun lalu karena kuota memang dikurangi.
Ada plus minusnya juga kali ya kalau seat dikurangi. Daripada ramai tapi tidak maksimal, lebih baik sedikit tapi handal dalam urusan bantu-bantu promosi kegiatan he he. Bisa hemat biaya juga. Biaya kapal, biaya makan, biaya bus, dll. Setuju sih, asal bukan keselamatan jadi ikut dihemat.
Berangkat dari Pantai Sari Ringgung Pesawaran
Sabtu tgl. 27/8, tepat di hari meletusnya Gunung Krakatau purba pada tahun 1883, adalah hari di mana kami akan melakukan perjalanan Jelajah Krakatau. Rombongan kami yang selama mengikuti kegiatan Festival Krakatau di Lampung berada di bawah tanggung jawab Mas Yopie Pangkey (www.yopiefranz.com), sudah berada di lokasi kumpul yaitu Lapangan Korpri tepat jam 6 pagi sesuai jadwal rundown yang dibuat oleh EO.
Ada 3 bus yang disediakan panitia. Karena menjadi yang pertama tiba, kami naik bus no. 1. Saat naik bus, ada snack box yang dibagikan. Isinya kue-kue dan air mineral. Lumayan buat sarapan meskipun rombongan kami sudah punya sarapan (nasgor enak) yang dibawa dari Hotel Inna Eight (hotel yang disediakan dispar untuk tempat kami bermalam selama di Lampung). Kami merasa perlu makan nasi, biar kuat selama mengarungi lautan. Biar nggak mabok dan masuk angin.
Kumpul di Lapangan Kegubernuran (Korpri) |
Tiga bus bagus yang disediakan panitia untuk angkut peserta ke Pantai Sari Ringgung |
Rahmi (paling depan) mendata peserta yang akan berangkat Jelajah Krakatau |
Sekitar 30 menit kami di bus, sudah sarapan dan ngobrol-ngobrol, tapi peserta lain belum ada yang datang. Akhirnya kami di berangkatkan meskipun lebih dari separuh isi bus kosong. Sayang sekali. Tapi saya salut pada supir bus besar berkapasitas 50 orang itu, disiplin pada jadwal meski harusnya dia membawa banyak peserta. Untuk acara seperti ini, memang harusnya semua sesuai jadwal, sebab menyeberang ke Gunung Anak Krakatau (GAK) itu bukan sekali dayung langsung sampai, melainkan berjam-jam sampai bosan. Bukan melaju di atas kolam renang hotel, tapi di atas samudera dengan segala cuaca yang tidak bisa diprediksi. Jika molor, bakal banyak jadwal terbengkalai. Yang ada, waktu seharian hanya banyak dihabiskan di atas laut. Kapan menikmati naik gunungnya?
Tahun lalu, peserta tur Krakatau diberangkatkan dari Kalianda. Dari sana, perjalanan darat lebih lama, tapi perjalanan lautnya jadi lebih singkat. Tahun ini berangkat dari Sari Ringgung Pesawaran. Perjalanan darat lebih singkat (40 menit), tapi perjalanan lautnya jadi lebih lama. Kalau dihitung waktunya sama saja. Mungkin karena itu keberangkatan dijadwalkan jam 8, sama seperti tahun lalu.
Dermaga di Pantai Sari Ringgung dan perahu-perahu hias yang siap antar peserta ke kapal besar |
Warung-warung jajan di Pantai Sari Ringgung, tempat kami duduk-duduk menunggu rombongan bus 2-4 yang belum datang |
Kami yang sudah datang lebih awal, cukup lama menunggu rombongan bus lain tiba. Sempat ngopi-ngopi dulu di warung, sempat bolak balik dulu ke toilet, sempat motret banyak objek. Setelah bus 2-4 datang (di lap korpri saya tidak lihat ada bus ke 4 lho), prosesi acara pelepasan peserta tur yang dihadiri ibu kadis parekraf provinsi Lampung dan asisten Gubernur Lampung dimulai. Tidak lupa doa bersama dan foto bersama sebelum kapal-kapal hias membawa kami ke laut untuk kemudian naik kapal besar. Jam 8.30 rombongan tur baru diberangkatkan. Molor 30 menit dari jadwal rundown.
Pelepasan Jelajah Krakatau dihadiri ibu kadis parekraf Prov. Lampung dan Asisten Gubernur Lampung |
Doa bersama sebelum berangkat, semoga semua selamat. Aamiin. |
Panitia mengatur kami dalam barisan sesuai nomor urut bus. Kami bus no 1 tentu di depan dong. Tapi saat akan dinaikkan ke kapal, yang dipanggil lebih dahulu bus no. 4. Kalian tahu siapa saja yang berada dalam bus no 4?
Saat itu saya tidak terlalu peduli siapa di bus no. 4. Toh semua bakal sama-sama berangkat dan naik kapal. Biar saja. Yang saya agak kesal selama di Pantai Pasir Ringgung adalah acara Ngumbai Lawok yang saya nanti-nantikan ternyata tak sedikit pun kelihatan batang hidungnya. Mana acaranya? Yang ada hanya deretan kapal hias di dermaga tanpa atraksi apa-apa kecuali mengantar kami ke tengah laut untuk kemudian dipindahkan ke kapal besar.
Saya kehilangan tontonan acara budaya berisi muatan lokal.
Antri barisan sih di nomor 1, sesuai nomor bus, tapi masuk perahu bus nomor 4 yang didahulukan :D |
Kapal Peserta Jelajah Krakatau
Ada 3 kapal yang disediakan panitia untuk mengangkut rombongan peserta. Terdiri 2 kapal fiber dan 1 kapal kayu. Ketika perahu-perahu hias mengantar kami ke kapal fiber, saya menduga kami semua akan diberangkatkan dengan kapal tersebut. Tapi dugaan itu salah. Saat kapal fiber sudah penuh, perahu berbelok arah, menuju kapal kayu yang sudah menunggu di sisi lain. Kami pun diantar ke kapal tersebut. Yang naik kapal kayu bukan hanya rombongan kami (10 blogger + Mas Yopie), tapi juga rombongan dari bus 4. Mas Farchan, Takdos dan kawan-kawannya, serta beberapa orang dari EO juga naik kapal kayu.
Saat akan turun dari perahu hias, ada dua teman yang berniat membawa jaket pelampung ke kapal kayu, tapi dicegah tukang perahu. Saya turut mencegah teman-teman membawa jaket tersebut karena saya pikir kapal kayu yang akan menyeberangi selat Sunda pasti sudah menyediakannya. Tapi lagi-lagi saya salah duga, di kapal kayu sama sekali tidak ada life jacket.
Perahu hias yang tugasnya cuma antar dari dermaga ke kapal besar dilengkapi jaket pelampung bagus. Tapi kapal besar yang angkut puluhan peserta menyeberangi samudera sama sekali tidak dilengkapi jaket pelampung. Hmm....
Perahu hias ini yang mengantar peserta ke kapal besar yang menunggu di tengah laut |
Proses perpindahan penumpang ke kapal besar |
Kapal yang disediakan panitia tahun ini bagus, seneng banget! |
Tapi ternyata ada kapal kayu untuk angkut peserta ke Gunung Anak Krakatau |
Saya tidak mempersoalkan naik kapal kayu. Tidur di atas papan beralas tikar, di dalam kolong kapal yang sempit (tidak bisa berdiri karena atapnya pendek), dekat mesin kapal dengan aroma bahan bakar yang tidak enak untuk dihirup, bisa saya terima. Toh keadaannya masih lebih baik dari kapal kayu yang pernah saya naiki saat Tour Krakatau tahun lalu.
Dulu, kapal yang saya naiki, ukurannya panjang tapi kecil. Duduk di depan rame-rame, ga bisa berbaring. Kena panas, kena angin, dan kena cipratan ombak. Kalau sekarang lebih besar dan lebar. Bisa masuk rame-rame, tidur-tiduran, ga kepanasan. Sedikit lebih enak.
Sebelum naik kapal besar, kami sempat diajak melihat musola terapung yang ada di pojok kanan gambar |
Ini kapal BKSDA, bukan kapal untuk angkut peserta Jelajah Krakatau |
Buat saya pribadi, naik kapal kayu lagi tidak apa. Tidak ada rasa iri pada mereka yang naik kapal fiber. Yang ada adalah kengerian mengarungi samudera tanpa ada satu pun alat keselamatan.
Jika terjadi apa-apa di lautan, mau salahkan siapa? Salah saya dan kawan-kawan karena mau saja tetap berangkat padahal sudah tahu keadaan tanpa jaket pelampung itu berbahaya. Salahnya kami merasa aman karena mengira bakal ada kawalan dari polair sepanjang perjalanan. Padahal ternyata selama penyeberangan berjam-jam itu tidak ada kawalan sama sekali.
Jatah Makan di Kapal
Rasa ngeri tinggal ngeri, kapal tetap melaju membawa kami. Ada yang naik atap, duduk-duduk di atas sepanjang perjalanan. Ada yang tidur dan sekedar baring-baring di dalam kapal. Ada yang duduk di depan ruang kemudi menghalau galau sambil ngobrol ngalor ngidul.
Adis Takdos duduk di atap kapal bersama kawan-kawan |
Mbak Rosanna dan Mas Yopie membunuh bosan di depan ruang kemudi |
Pukul 9.43, empat jam sebelum sampai di kepulauan Gunung Krakatau |
Rombongan blogger imut-imut santai bareng di dalam kapal kayu, asik yaaa *Foto: Omnduut* |
Selain para blogger imut dari bus nomor 1, ada mas Farchan dkk dari bus nomor 4 dalam satu kapal kayu *Foto: Yopie Pangkey* |
Andai dihitung sejak awal, peserta diatur naik kapal, nasi-nasi dimasukkan ke kapal sebelum berlayar, kekurangan jatah makan tentu tidak terjadi.
Saya dapat jatah makan, tapi nasi kotak bertuliskan Puti Minang itu tidak saya makan karena keras (seperti mentah). Buah semangkanya sudah asam. Akhirnya, daripada perut kosong, ayamnya saya suir-suir, saya makan sedikit. Tidak habis, kotak itu saya tutup lagi, saya taruh di dalam kapal. Jika nanti lapar, akan saya makan. Tapi saya tidak merasa lapar sampai saat kapal berlabuh di kepulauan gunung berapi Krakatau (kenyang makan coklat dan biskuit).
Gunung Anak Krakatau akhirnya kelihatan, tak lama lagi kami sampai, oh senangnyaaaaa |
Berkunjung ke Laboratorium Alam
Setelah 5 jam perjalanan mengarungi lautan, akhirnya kami melihat daratan. Senyum sumringah mulai teruntai di wajah-wajah yang mengandung lelah, kantuk, dan lapar. Puncak Gunung Anak Krakatau seperti membangunkan semangat para petualang. Selamat datang kembali di gunung berapi yang pernah mengusik dunia.
Apa yang dilakukan teman-teman dari rombongan kami sesampainya di daratan?
Mencari toilet untuk buang air kecil yang ditahan selama 5 jam. Maklum di kapal tidak ada toilet. Toilet di dekat posko ternyata tidak bisa digunakan, akhirnya pada gantian kencing di dekat sumur. Satu-satu, dan itu makan waktu. Orang kebelet pipis tidak mungkin dihalangi.
Teman-teman muslim sholat. Wudhunya gantian. Dan itu lama. Orang beribadah harus diberi waktu.
Mas Yopie menemui panitia/EO, menanyakan jatah makan barangkali masih ada. Saya dengar sendiri Mas EO menjawab akan mencarikannya. Setelah dicari ternyata tidak ada. Habis. Mas EO memberi solusi dengan memasak nasi dan lauk pauknya di pos BKSDA. Ok, kami terima solusinya.
Tanpa santai-santai, yang sudah sholat dan buang air kecil langsung disuruh jalan |
Teman-teman yang sudah kelar kencing dan shalat langsung disuruh pergi mendaki gunung oleh Mas Yopie. Saya lihat sendiri saat itu Mas Yopie agak keras memberi perintah, termasuk kepada mbak Rosanna yang usianya di atas Mas Yopie (hehe awas kualat mas). Saya tahu Mas Yopie bermaksud tegas, bukan tega. Mungkin biar tidak ada waktu yang terbuang percuma. Ngejar waktu juga karena saat itu sudah jam 2 siang.
Makanan yang dimasak di pos BKSDA ternyata lama baru kelar karena bahan-bahan baru akan diolah. Akhirnya, daripada menunggu lama, 5 orang yang belum makan tetap naik gunung dengan perut kosong.
Mulai naik... *mas Yopie dan pendamping dari BKSDA* |
Rombongan kami baru naik saat yang lain mulai turun |
Saat baru mulai naik gunung, rombongan lain yang sudah lebih dulu sampai, justru sudah mau turun. Jadi, kami naik, mereka turun. Saat baru naik, perintah turun dikumandangkan lewat toak. Alamak. Tapi teman-teman tetap naik, diikuti salah satu personel dari BKSDA. Jika saya, Dian, Riant, dan Mas Yopie cuma sampai seperempat pendakian, maka mbak Rosanna, Yayan, Maman, Arie, Hari, mbak Lina, dan Mas Indra berhasil mendaki sampai puncak pertama. Hore!
Cuaca siang itu sangat terik. Pasir-pasir dan bebatuan yang terhampar di permukaan lereng gunung terasa amat panas. Tetapi di atas sana, pemandangan yang tersuguh amatlah memesona. Pulau Panjang, Pulau Sertung, dan Gunung Krakatau Tua (ibunya Gunung Anak Krakatau) dikelilingi hamparan laut biru. Langka ada tempat seperti ini bukan? Laut dan gunung berapi bisa berada dalam jarak dekat. Turun gunung ketemu laut, sampai di darat langsung ketemu gunung.
Di sini, di gunung berapi yang pernah mengusik dunia |
Bersama Adis Takdos, blogger kece baik hati dan tidak sombong |
Kawasan ini bukanlah tempat wisata yang bisa dikunjungi sesuka hati, melainkan kawasan cagar alam yang harus dilindungi dan hanya bisa dimasuki dengan ijin khusus.
Satu pesan yang mesti pengunjung ingat adalah: Biarkan apa yang ada di laboratorium alam ini berposes dengan sendirinya, jangan ikut campur….
Blogger undangan dispaekraf bertemu dan berbaur dengan blogger undangan EO di Gunung Anak Krakatau |
Pukul 15.32 - Arie Goiq turun gunung tetap ceria meski belum makan siang |
Hari, blogger babel yang tidak kebagian jatah makan ini pun tetap semangat turun gunung tanpa pingsan :D |
Indra Pradya (www.duniaindra.com) - Blogger hits Lampung ini turun gunung pakai lari! |
Naik gunung bareng fotografer andalan :D |
Jadi rombongan blogger terakhir yang turun gunung |
Kembali Naik Kapal Kayu
Kegiatan mendaki berakhir jam 3 sore, semua sudah turun, dan rombongan kami menjadi yang terakhir meninggalkan jejak di GAK hari itu. 30 menit kemudian kami sudah di bawah, di pelataran gunung, dekat pantai. Saat yang lain bergegas menaiki kapal, kami bergerak ke arah posko BKSDA. Menemani 5 teman yang belum makan sejak siang. Sebagian ada yang sholat, yang lainnya kencing.
Tiba-tiba mas EO memanggil, menawarkan kami untuk naik kapal fiber. Kami disuruh bergerak ke pantai agar nahkoda melihat keberadaan kami. Mendengar tawaran baik itu, langsung kami sambut gembira. Saya beritahu yang lain agar memanggil teman-teman yang sedang makan. Syukurnya sudah pada makan, hanya mas Yopie baru tiga suap. Demi ikut naik kapal fiber, makanannya ditinggalkan.
Tapi sayang, ketika kami sudah berlarian menunggu di pantai, kapal itu pergi tanpa pernah kembali. Sekoci yang datang tidak mengantar kami ke kapal tersebut, melainkan ke kapal kayu seperti yang kami naik saat pergi. Gagal deh naik kapal besar dan cepat.
Foto bareng dulu di pelataran Gunung Anak Krakatau, sementara rombongan lain berebut naik kapal besar |
Tapi kalau saya perhatikan, antara mas EO dan Mbak EO ini tidak seiring sejalan. Mas EO meminta kami bergegas masuk kapal fiber, sementara mbak EO tahu itu tidak mungkin. Akibatnya kami terjebak pada dua orang yang saling tidak paham kondisi. Kalau kapal sudah penuh, mestinya nahkoda tidak ijinkan orang lain naik lagi. Kalau sudah tahu kelebihan muatan, mestinya mbak EO larang mas EO suruh kami naik. Kalau akhirnya tetap pulang dengan kapal kayu, mending sedikit santai agar Mas Yopie bisa selesaikan makannya dengan baik. Itu aja sih.
Sesaat setelah ditinggal kapal fiber, tetap ceria kendati kecewa :D *capt. dari video Maman* |
Secepat apapun kami berpacu dengan waktu, keadaanlah yang membuat kami tetap tertinggal. Sungguh ingin kami pulang cepat, bergabung dengan yang lain naik kapal bagus dan cepat, tapi jika keadaannya tidak memungkinkan, apa harus dipaksakan?
Pasrah sambil tetap membangkitkan semangat dalam diri, itu yang kami lakukan saat itu. Akhirnya, kebersamaan yang membuat kami kuat. Rasa setia kawan yang membuat kami tetap berani menaiki kapal kayu itu kembali. Tak ada tangis.
Kalian tahu rundown yang dibuat EO?
Jam 10.30 kami dijadwalkan tiba di Krakatau. Kenyataannya kami tiba di Krakatau itu jam 14.00. Jam 14.30 kami dijadwalkan berada di Pulau Sibesi. Padahal jam 14.30 itu kami baru mendaki GAK. Jam 17.30 kami dijadwalkan sudah kembali ke Pantai Sari Ringgung. Nyatanya, jam 16.00 kami baru berlayar meninggalkan kepulauan Gunung Krakatau. Saya percaya, semua jadwal kegiatan sudah dipikirkan matang-matang dan melalui diskusi panjang, tapi tentu semua akan sesuai jadwal jika pembuat rundown tahu kondisi di lapangan.
Lain rundown, lain kenyataan |
Petualangan Sesungguhnya Baru Dimulai
Nahkoda kapal tersenyum, mencoba menghibur kami yang tidak jadi naik kapal fiber. Melihat itu, hilang kesal yang tadi sempat ada. Sore itu saya naik ke atap kapal, mencoba menikmati suasana jelang senja bersama Mas Yopie, Mas Indra, Hari, Maman, dan Mbak Rosanna. Di atas atap kapal, goyangan kapal tidak terlalu terasa. Badan jadi lumayan segar.
Jelang magrib, gelombang terlihat tinggi. Saya perkirakan sekitar 1,5 meter. Nyali saya langsung ciut. Bayangan buruk mulai menghantui. Tiba-tiba teringat film-film badai di laut, Perfect Storm yang diperankan George Clooney. Langsung merinding. Saya berkali-kali bertanya pada mas Yopie tentang keadaan saat itu apakah aman, katanya aman. Dia pernah hadapi yang lebih seram dari itu, air laut sampai masuk kapal. Kapalnya tidak apa-apa.
Naik kapal kayu lagi, nikmati...*Gunung Krakatau tua, Pulau Sertung, dan Gunung Anak Krakatau di latar belakang* |
Bisa jadi kengerian yang saya lihat karena saya tidak biasa berada dalam kondisi seperti itu. Tapi siapa yang tidak ngeri mengingat kapal ini tidak punya satu pun pelampung. Jika digulung badai, apa yang akan terjadi? Gerimis tiba-tiba turun. Kami bergegas turun masuk kapal. Hujan membuat rasa takut makin menjadi. Saat itu saya teringat pak nahkoda berkata bahwa rute pulang akan beda dengan rute pergi. Katanya dia akan lewat perairan dekat pulau, lebih jauh tapi aman. Ya semoga saja aman.
Lelah, perjalanan pulang masih panjang, tidur saja.... |
Malam, hujan deras, keadaan jadi kian mencekam. Air menetes ke dalam kabin. Beberapa teman yang sedang tidur langsung pindah tempat. Satu lampu kecil yang tidak cukup untuk menerangi seisi ruang kapal membuat saya tidak bisa melihat dengan jelas. Alangkah lamanya kami sampai. Entah pada jam ke berapa ketika kapal bertanya arah pada kapal lain, rupanya kapal kami kehilangan arah. Ya Tuhan pantas saja kapal tanpa GPS ini tidak sampai-sampai. Mau hubungi siapa jika tersesat? Sinyal tidak ada.
Perut lapar, dingin, terombang-ambing berjam-jam, membuat kekuatan saya untuk bertahan menurun jauh. Kepala mulai pusing, isi perut seperti diaduk-aduk, mual dan bikin muntah berkali-kali. Tapi kantong plastik yang saya tadahkan di mulut tidak terisi muntah. Bagaimana mungkin ada yang bisa dimuntahkan kalau perut kosong? Yang ada asam lambung naik dan bikin mulut terasa pahit ga habis-habis. Saya mulai tidak percaya pada diri sendiri apakah akan kuat menghadapi keadaan saat itu.
Pukul 18.56, suasana remang dalam kapal, di luar hujan, angin kencang, gelombang besar... |
Ada yang saya yakini bahwa kami pasti kembali ke daratan dengan selamat meski tidak tahu kapan akan menemukan daratan. 6 jam bukan waktu yang sebentar untuk perjalanan yang harusnya bisa ditempuh dengan waktu yang lebih pendek dari itu.
Sekitar jam 9.30 malam kapal berhenti di tengah laut. Sebuah perahu datang menjemput, lalu mengantar kami kembali ke daratan. 1 jam kemudian kami pun tiba di Pantai Sari Ringgung. Orang-orang menanti dengan beragam ekspresi. Sekelebat ucapan terdengar...
“Hampir ke Pahawang”
“Alhamdulillah selamat”
“Hampir hilang…”
“Tidak bisa dihubungi...”
Saya tak berani menyimpulkan apa-apa selain menduga bahwa telah terjadi kecemasan besar atas keadaan kami.
Di dalam bus, saya mendengar obrolan seorang wartawan perempuan. Kaget saya dibuatnya, ternyata kepanikan atas kapal kami yang tidak muncul-muncul telah membuat seseorang menghubungi bazarnas dan kapolda. Ternyata segawat itu?
Kecemasan-kecemasan itu adalah bentuk perhatian dan keprihatinan. Adakah yang punya rasa dan pikiran sebaliknya?
Jam 12 malam kami baru makan.
Alhamdulillah makan |
Malam bergulir, berganti hari. Cerita pun mengalir, tumpah sebagai luapan rasa. Kondisi tak sedap terceritakan, sesuai dengan apa yang terjadi. Bisa jadi sebagai bentuk luapan emosi. Bisa juga sebagai jawaban atas kegelisahan orang-orang yang menanti kepulangan kami.
Malam itu, sebuah perjalanan tak terlupakan memenuhi ruang kenangan. Entah sampai kapan akan membekas dalam ingatan.
Tidak pernah terlintas di pikiran, apalagi ingin mengalami kejadian tak mengenakkan. Tapi kalau sudah terjadi dan tak bisa dihindari lantas harus apa? Kalau ada yang menganggap saya kapok ikut Jelajah Krakatau, itu salah besar. Kejadian yang saya alami justru membuat saya makin kuat, makin berani, dan makin menyayangi sahabat-sahabat yang menjadi teman perjalanan saya.
Memaknai Perjalanan Jelajah Krakatau
Nuansa jelajah pada Jelajah Krakatau kali ini benar-benar terasa. Seperti diajak ‘menjelajah’ segala rasa; rasa takut, rasa cemas, rasa lapar, rasa marah, rasa sayang, rasa kesal, rasa sedih, rasa sakit. Semua rasa itu hadir untuk diambil hikmahnya. Mungkin kami diberi rasa itu agar punya cerita berbeda dari mereka-mereka yang sama-sama pernah pergi ke Gunung Anak Krakatau.
Mungkin kami spesial. Makanya diberi kejadian spesial.
Berprasangka baik itu indah.
Barangkali juga, lewat kejadian ini, kami diajak untuk merenungi keadaan super parah saat Gunung Krakatau menggelegar membangunkan penduduk planet. Di mana ledakannya setara 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki pada akhir Perang Dunia II. Getarannya terasa sampai Eropa dan letusannya terdengar hingga sejauh 4.653 kilometer sampai Australia dan Afrika. Sebuah bencana besar yang merubah sebagian wajah bumi. Mengakibatkan Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan lenyap, setengah kerucut Gunung Rakata hilang. Terjadi gelombang tsunami setinggi 40 meter yang mengakibatkan puluhan ribuan penduduk tewas. Langit separuh bumi gelap gulita selama dua hari. Debu vulkanisnya menutupi atmosfer bumi, menyebabkan perubahan iklim global sampai setahun berikutnya.
Mengenang. Merenung.
Alam itu kuat, untuk itu jangan pernah menyombongkan diri di hadapannya. Di sisi lain, alam pun sangat mungkin ditaklukkan, asal mampu menyelaraskan diri terhadapnya.
Jelajah Krakatau adalah perjalanan penuh tantangan. Menjaga kesehatan badan dan memperhatikan keselamatan adalah hal penting. Hal ini berlaku untuk semua orang, baik peserta maupun penyelenggara.
Jangan takut Jelajah Krakatau. Apapun kejadian yang dialami, pahit atau manis, memberi warna bagi perjalanan. Manisnya indah untuk dikenang, pahitnya tak ingin terulang.
Sebuah pengalaman tak terlupakan dari perjalanan Jelajah Krakatau. Terima kasih sudah membuat kami makin kuat dan solid! |
0 komentar:
Posting Komentar