Inspirasi untuk melakukan perjalanan wisata ke suatu tempat bisa dari mana saja, termasuk dari sebuah festival.
Tour Gunung Anak Krakatau yang saya ikuti, serta Parade Lampung Culture dan Tapis Carnival yang saya saksikan dalam event Lampung Krakatau Festival, Pariwisata Indonesia pada bulan Agustus tahun 2015 lalu, merupakan pengalaman sangat berharga yang memberi makna tersendiri bagi saya dalam mengenal dunia pariwisata Lampung.
Jika sebelumnya saya -berani-beraninya- memandang Lampung sebagai provinsi yang miskin daya tarik wisata -maaf ya Lampung-, maka lewat Festival Krakatau pandangan itu mulai berubah. Festival Krakatau seolah jadi gebrakan untuk saya agar mulai melirik beragam potensi wisata Lampung yang selama ini luput dari mata.
Festival Krakatau merupakan salah satu perhelatan kebudayaan unggulan dari Provinsi Lampung yang rutin diadakan setiap tahun. Tahun lalu, rangkaian kegiatan berlangsung sejak tanggal 23 Agustus hingga 30 Agustus, meliputi Pesta Pantai & Food Festival, Krakatau Fes’ Expo, Petualang Nusantara, Tour Anak Krakatau dan Krakatau Jetski Adventure, serta pawai budaya bertajuk Lampung Culture dan Tapis Carnival 2015. Dari seluruh rangkaian kegiatan tersebut, saya mengikuti dua acara terakhir saja.
Kenangan saat menghadiri festival tahun lalu (atas undangan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Lampung) kembali melintas dalam benak saya. Tapi, kenangan berkunjung ke Lampung berkali-kali usai festival yang saya hadiri hanya dua hari itu, lebih banyak memenuhi ruang ingatan saya.
Godaan Lampung Tak Terbendung
Dalam Festival Krakatau tahun lalu, tidak ada kegiatan fam trip yang mengajak saya dan kawan-kawan blogger berkunjung ke tempat-tempat wisata yang ada di Provinsi Lampung. Mungkin karena keterbatasan waktu juga sih ya. Tapi saya sempat diberitahu bahwa di Lampung ada tempat-tempat istimewa yang menarik untuk dikunjungi di lain waktu. Di antaranya Way Kanan Negeri 1000 Air Terjun, Liwa Negeri Kabut, Tanggamus dengan ‘surga-surga’ yang bertebaran dari gunung hingga laut, pulau-pulau dengan panorama bawah air yang indah, kuliner-kuliner lezat, desa pengrajin kain tenun dan batik, dan seterusnya masih banyak lagi.
Saya merasa normal ketika terkejut mengetahui adanya tempat-tempat tersebut. Meski dari sisi lain jadi bukti minimnya pengetahuan saya selama ini. Apa yang saya tahu hanya sebatas gajah-gajah Way Kambas, Gunung Anak Krakatau, atau pun Teluk Kiluan seperti yang sudah banyak dikenal orang. Padahal banyak tempat wisata lainnya di Lampung yang tak kalah memesona. Tempat-tempat dengan daya tarik yang sanggup menumbuhkan rasa penasaran untuk menjelajah dan mengungkap satu persatu keindahan yang masih tersembunyi.
Apakah saya penasaran? Tentu saja. Jadi kapan saya akan menjelajah Lampung?
Jelajah Lampung Sampai ke Ujung
Saya mulai aktif berkunjung ke Lampung baru pada tahun 2016 ini. Berturut-turut dari Januari hingga terakhir kali di bulan Juli. Kadang sendiri, kadang bersama kawan-kawan. Pernah hanya berdua, berlima, dan pernah juga sampai berlima belas. Datang sendiri bisa tenang meresapi keindahan. Datang ramai-ramai bisa seru-seruan. Semua menyenangkan.
Saya bertandang ke sejumlah tempat. Baik ke tempat yang sudah dikenal seperti Kiluan dan Way kambas, hingga ke tempat yang tidak hanya asing di mata, tapi di telinga saya pun tak terdengar sebelumnya. Beberapa tempat dapat dicapai dengan mudah, beberapa yang lainnya dilalui dengan sulit dan melelahkan. Tidak semua destinasi punya akses yang baik. Tapi bagi saya seorang pejalan, kesulitan adalah tantangan yang harus ditaklukkan. Meski demikian, saya menaruh harapan kelak ada perubahan dan perbaikan jalan menuju tempat wisata.
Tempat apa saja yang sudah saya kunjungi di Lampung? Harta karun apa saja yang sudah saya temukan di Lampung? Ikuti terus cerita saya berikut ini yuk...
Bertemu Lumba-Lumba di Teluk Kiluan
Kiluan, sebuah tempat yang menjadi habitat lumba-lumba terbesar di Asia Tenggara. Tempat ini menjadi awal petualangan saya menjelajah Lampung. Objek wisata berbau petualangan ini tidak cukup dicapai dengan berkendara sejauh 75 km selama 3 jam dari Bandar Lampung ke Kelumbayan saja, tapi mesti ditambah dengan naik jukung (perahu tradisional kecil) ke tengah laut selama kurang lebih 2 jam.
Berani menantang gelombang demi bertemu lumba-lumba?
Periode Januari-Juli tahun 2016 ini saya sudah 3x ke Kiluan. Pertama bulan Januari, kedua bulan Februari, dan ketiga bulan Juli baru-baru ini. Rasa penasaran yang membuat saya ketagihan datang, pun ada sensasi berbeda saat melihat langsung lumba-lumba di alam bebas. Tiap ke kiluan, pengalaman yang saya dapat selalu berbeda. Kadang bertemu sedikit lumba-lumba, kadang tidak bertemu sama sekali. Belum pernah sampai bertemu ratusan lumba-lumba. Tapi rasa senangnya tetap sama.
Kiluan jadi juara dalam daftar kunjungan saya ke Lampung. Selain jadi yang pertama kali dikunjungi (bukan perjalanan gratis/disponsori), juga jadi yang tersering.
Tidak sulit mencari penginapan di Kiluan. Ada homestay di rumah warga, ada pula penginapan di pulau dan pinggir pantai Kiluan. Saya biasanya menginap di Anjungan Tamong Haji yang terletak di Desa Bandung. Tempatnya di pinggir pantai, tidak dekat dengan rumah penduduk, dan mesti dicapai dengan perahu. Saya suka menginap di sana karena pantai di depan cottage-nya bersih, air lautnya juga jernih, nyaman untuk berenang. Suasana pantainya pun sepi, seakan punya pantai pribadi. Panorama bawah airnya juga cukup menarik untuk dipandangi. Di seberang penginapan ada Pulau Kelapa. Tinggal menyeberang 2-3 menit kalau ingin main-main di pulau itu. Cerita dan foto-foto di Kiluan pernah saya posting di sini.
Saat ke Kiluan yang kedua kali, saya dan kawan-kawan diajak Mas Yopie (fotografer Lampung pemilik blog www.yopiefranz.com) berkunjung ke Laguna Gayau. Laguna Gayau merupakan daya tarik lain yang dimiliki Kiluan. Untuk sampai ke laguna, kami treking sekitar 30 menit dari pantai Desa Bandung Jaya, naik bukit, turun bukit, terakhir jalan kaki melewati pantai penuh batu.
Jadi, di Teluk Kiluan itu ada gugusan karang yang membentuk lekukan berbentuk kolam dan terisi air laut dari ombak yang menerjang karang. Kolam itulah yang dinamakan Laguna Gayau. Cukup melelahkan perjalanannya, tapi terbayar ketika merasakan segarnya berendam di laguna. Berenang di Laguna Gayau pernah saya buat videonya dan pernah ditayangkan di Net TV. Bisa lihat videonya di sini.
Gigi Hiu, Pesona Batu Karang Raksasa di Pantai Pegadungan
Tak jauh dari Kiluan terdapat gugusan batu layar yang saat ini dikenal dengan julukan Gigi Hiu. Dinamakan Gigi Hiu karena batu karang berukuran raksasa yang berjejer kokoh di dekat bibir pantai menyerupai jejeran Gigi Hiu. Pantai ini juga dikenal dengan Pantai Batu Layar karena bentuk batu-batunya menyerupai deretan layar terkembang. Tapi masyarakat setempat menyebutnya Pantai Pegadungan, sesuai nama desanya.
Jarak pantai dari Kiluan sebenarnya hanya sekitar 5 kilometer saja, tapi kondisi jalan yang belum baik memaksa perjalanan ditempuh sekitar 1 jam. Akhir bulan Juli 2016 lalu, saya dan enam belas orang teman mesti naik ojek motor dari Desa Kiluan Negeri menuju Desa Pegadungan, tempat Gigi Hiu berada. Perjalanan menuju Gigi Hiu menjadi petualangan paling seru dan sarat tantangan. Kami melewati jalan empat musim: Musim batu, musim lumpur, musim cor, musim belukar. He he. Bayangkan, untuk pergi saja perlu waktu satu jam melewati jalan seperti itu.
Namun, perjalanan berat itu terbayar lunas. Pantai Pegadungan sangat indah, rasanya sulit dilukiskan dengan kata-kata. Barisan batu karang raksasa menjulang megah membentuk tiang-tiang tinggi di pinggir pantai. Ombak deras yang menghempasnya menambah sensasi eksotismenya. Bagi fotografer, sajian pantai penuh bebatuan raksasa ini dijamin membuat mereka bergairah. Gigi Hiu kini memang merupakan ikon spot fotografi Lampung.
Menatap keelokan bongkahan batu yang disapa mentari sore dan deburan ombak di antara karang, menerbangkan seluruh keletihan yang saya alami selama perjalanan. Gigi Hiu adalah sebuah tawaran kedamaian tak terbantahkan dari sudut pesisir Lampung
Bermesraan dengan Gajah Way Kambas
Apa rasanya bermesraan dengan gajah di tempat wisata Lampung yang sudah terkenal se-antero Nusantara? Luar biasa!
Januari 2016 lalu, saya menempuh perjalanan bermobil sejauh 112 kilometer selama 2,5 jam dari Bandar Lampung-Way Kambas demi bertemu gajah-gajah yang selama ini menjadi ikon Provinsi Lampung. Jika di bulan Agustus tahun 2015 saya hanya melihat gajah Lampung melintas di acara parade budaya Festival Krakatau, maka bulan Januari 2016 saya bisa melihat, bahkan menyentuhnya langsung di Taman Nasional Way Kambas (TNWK).
TNWK merupakan taman nasional perlindungan gajah dan suaka alam dataran rendah dengan luas 126.000 hektar yang terletak di daerah Lampung Timur. TNWK berdiri pada tahun 1985 dan merupakan sekolah gajah pertama di Indonesia. Taman ini menjadi pusat konservasi gajah, pengembangbiakan, pelatihan, dan penjinakan. Selain gajah, kawasan ini juga dihuni hewan Badak Sumatra yang terancam punah. Walau saya tidak berjumpa badak, tapi saya sempat melihat sekawanan monyet dan burung, hewan liar lainnya yang tinggal di TNWK.
Ketika membayar tiket masuk seharga Rp 10.000,- petugas sempat memberitahu bahwa atraksi gajah dan bersafari berkeliling menunggang gajah untuk sementara dihentikan. Perihal penghentian tersebut telah berlangsung sejak pertengahan tahun 2015. Tak masalah buat saya karena menunggang gajah bukan tujuan utama ke Way Kambas. Bertemu saja sudah sangat puas.
Berdekatan dengan gajah di ‘rumahnya’ bukan hal yang tiap hari bisa dirasakan bukan? Ada banyak gajah yang saya jumpai di TNWK. Empat di antaranya bisa saya dekati, bahkan ada dua yang bisa saya pegang. Sempat ngeri juga sih mendekati gajah yang besar badannya sekian kali lipat dari badan saya hehe. Tapi pemandu berhasil meyakinkan saya untuk berani. Dan benar, dua gajah jantan yang saya dekati seperti takluk. Tidak ganggu apalagi menyeruduk. Saya tidak melewatkan kesempatan itu untuk foto bareng. Langka lho foto dekat banget dengan gajah.
Ada momen terbaik yang tertangkap kamera saat dua gajah jantan saling berhadapan. Momen itu sempat dipotret oleh Mas Yopie dengan menggunakan kamera saya. Enam bulan kemudian, foto dua gajah tersebut dipakai untuk billboard launching Taman Nasional Way Kambas yang dinobatkan sebagai ASEAN Heritage Parks –selamat buat Lampung!- pada tanggal 27 Juli 2016 lalu. Billboard itu dipajang di beberapa tempat strategis di Lampung, salah satunya di jalan menuju bandara Radin Intan. Tiap kali melihat billboard itu, saya terkenang momen bermesraan dengan gajah Way Kambas :)
Kalau kamu ke Lampung, Way Kambas wajib dikunjungi!
Jelajah Tanggamus
Selain Kiluan dan Gigi Hiu, mutiara yang dimiliki kabupaten Tanggamus juga ada di daerah pegunungan. Saya menemukannya pada bulan November 2015 saat diundang oleh Disbudparpora Tanggamus untuk mengikuti kegiatan Festival Teluk Semaka. Bersama kawan blogger, jurnalis, dan fotografer kami diajak mengunjungi objek wisata Tanggamus yang terdapat di Kecamatan Ulu Belu. Di antaranya Air Terjun Lembah Pelangi, Danau Hijau, dan Kawah Belerang.
Dari Kota Agung, ibukota Kabupaten Tanggamus, Ulu Belu kami capai dengan mobil selama 2 jam. Untuk jarak sejauh 60 kilometer, waktu tempuh tersebut cukup lama. Mungkin karena jalan yang dilalui menanjak, menurun, dan banyak kelokan. Membuat mobil tidak melaju terlalu kencang. Di tengah perjalanan menuju Ulu Belu, saya sempat bertanya-tanya, pesona apa yang akan saya jumpai nun jauh di pelosok Tanggamus itu?
Air Terjun Lembah Pelangi, Mutiara Tanggamus yang Membius
Tak hanya indah dan membuat saya berdecak kagum, air terjun ini membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Keelokannya meninggalkan kesan mendalam.
Air Terjun Lembah Pelangi tersimpan di Lembah Pelangi. Letaknya tersembunyi di sela-sela bukit, di antara relung hutan kopi. Butuh perjuangan selama 20 menit jalan kaki dari pemberhentian mobil untuk mencapai lokasi. Jalan yang dilewati cukup terjal. Cocok pagi penikmat wisata alam yang menyukai tantangan. Saya merasa asik-asik saja menuruni lembah. Pegal sih iya, tapi rasa itu hilang saat sudah bertemu dengan air terjun.
Air yang mengalir di bebatuan, gemuruh suara air yang jatuh, dan semburat pelangi yang melengkung di dekat kolam, suasana alam yang asri, menghadirkan rasa takjub bagi siapapun yang melihatnya. Pelangi cantik yang senantiasa terlihat menghiasi air terjun membuat air terjun ini diberi nama Pelangi. Tampak begitu menawan, betapa indah ciptaan Tuhan. Menikmati segarnya air pegunungan, merasakan mandi bareng pelangi, jadi kenangan paling berkesan yang saya dapatkan dari Air Terjun Pelangi.
Air Terjun Pelangi memiliki dua bagian. Yang pertama memiliki ketinggian kurang lebih 50 meter, sedangkan yang kedua terdapat di bawah air terjun yang pertama, namun dengan medan yang lebih curam. Badan harus sedikit merosot untuk mencapainya, bukan berjalan dalam keadaan berdiri tegak. Meskipun sulit, tapi di air terjun kedua terdapat pemandian air panas yang tidak berbau sulfur. Waktu ke sana saya dan kawan-kawan tidak punya cukup waktu untuk merasakan berendam air panas.
Jangan Lewatkan Danau Hijau dan Kawah Belerang
Selain Air Terjun Lembah Pelangi, terdapat dua objek wisata menarik lainnya yang sayang untuk dilewatkan di Ulu Belu, yaitu Danau Hijau dan Kawah Belerang.
Dinamakan Danau Hijau karena air di dalam danau berwarna hijau. Danau yang terletak di pinggir jalan menuju Geothermal Ulu Belu ini mengeluarkan aroma belerang. Airnya hangat disebabkan oleh adanya bongkahan belerang mendidih di dasar danau. Di sini bisa duduk-duduk santai di pondok menikmati suasana danau sambil minum kopi, ditemani semilir angin yang berembus sepoi-sepoi. Bisa juga naik perahu getek, keliling danau, atau menyeberang, lalu naik bukit melihat kawah belerang yang ada di atas bukit.
Tak jauh dari Danau Hijau juga ada Kawah Belerang Bukit Pagar Alam. Untuk sampai ke kawah bisa dengan jalan kaki atau naik motor. Waktu itu kami para perempuan naik motor, sedangkan para laki-laki jalan kaki. Di kawah belerang terdapat sumber mata air panas yang mengeluarkan kepulan asap di beberapa titik. Tidak ada genangan air yang membentuk kolam, sehingga permukaan kawah bisa ditapaki.
Menengok Keindahan Air Terjun Way Lalaan
Air Terjun Way Lalaan merupakan air terjun pertama yang saya kunjungi di Tanggamus. Terletak di pekon Kampung Baru Kecamatan Kota Agung Timur Kabupaten Tanggamus, Lampung. Dikelola oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Tanggamus bersama Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang beranggotakan warga sekitar. Jika sedang berlibur ke Kota Agung bisa sempatkan mampir ke sini. Lokasinya dekat jalan raya lintas barat Sumatra (Jalinbarsum) yang menghubungkan Bandar Lampung dan Kota Agung, sekitar 300 meter dari sisi kiri jalan. Dari pintu gerbang tinggal masuk, parkir (jika bawa kendaraan), lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki menuruni anak tangga batu sepanjang 75m. Konon air terjun yang berasal dari aliran Way Lalaan yang bermuara ke Teluk Semaka ini telah di kenal sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda, sekitar tahun 1937. Tangga batu menuju lembah air terjun telah dibuat pada masa itu.
Saya dan kawan-kawan tiba di Air Terjun Way Lalaan pada sore hari. Suasana tampak sepi dan terasa begitu tenang karena sudah tidak ada pengunjung lain. Usai menikmati durian di area parkir kendaraan, saya mencoba menuruni tangga batu, melihat dari dekat air yang jatuh dari ketinggian 11-an meter. Suasana hijau di sekitar, bunyi air yang jatuh, membuat saya terhanyut dalam petang yang syahdu. Ada rasa ingin main air, tapi sayangnya hari sudah terlalu sore, keinginan itu pun ditahan dulu. Mungkin lain kali saat ke Tanggamus lagi.
Tanggamus Punya Batik
Pernah lihat batik Tanggamus? Atau sudah pernah pakai? Kalau saya, jangankan keduanya, baru dengar Tanggamus punya batik saja tidak percaya hehe. Kalau bukan jadi bagian dari kegiatan Festival Teluk Semaka, mana saya tahu kalau Tanggamus punya batik.
Saya dan rombongan media diajak mengenal batik Tanggamus di Sanggar Ratu binaan Dekranasda Tanggamus yang terletak di Pekon Banding Agung, Kecamatan Talang Padang yang pengrajinnya adalah Bapak Omansyah Adok Minak Jaga. Sanggar Ratu merupakan wadah para perajin lokal, juga sarana promosi handycraft Kabupaten Tanggamus, baik itu pengrajin batik maupun lainnya.
Motif batik Tanggamus bernuansa bahari. Ada motif Bung Lumba, motif Bunga Kamphai (buah tomat kecil/ cherry) dan motif batik Sanggi. Batik Sanggi ini punya motif yang kental dengan nuansa pesisirnya, berbentuk gambar ketinting atau jukung (perahu khas Lampung), cadik, pohon ara (pohon kehidupan) dan nelayan. Dilihat dari motif-motif tersebut, Tanggamus seperti ingin memperkenalkan kemaritiman Indonesia dalam bentuk batik dan pewarnaannya.
Mengenal Kain Tradisional Tapis di Tanggamus
Saya mulai familiar dengan Tapis saat menyaksikan Tapis Carnival 2015 di acara Festival Krakatau tahun lalu. Sebelum itu, saya ragu pernah tahu. Kain tenun khas Sumatera yang selama ini saya akrabi kebanyakan songket Palembang, Padang, Bengkulu, Jambi, dan Aceh. Sejak tahu tapis, bertambah daftar jenis kain tradisional Sumatera yang saya kagumi.
Nah, selain batik, di Sanggar Ratu yang kami kunjungi juga terdapat kain tapis dan sulam usus. Semua karya warga binaan. Menurut Ibu Oman, untuk motif dan desain, mereka yang tentukan, lalu perajin membuatnya berdasarkan pesanan. Penduduk Talang Padang, khususnya perempuan menjadikan kegiatan menenun tapis sebagai mata pencaharian. Desa ini memang merupakan sentra kerajinan tapis dan batik di Tanggamus.
Harga jual satu helai kain tapis berkisar mulai dari Rp 800 ribu hingga Rp 3 juta. Ada juga yang dijual dengan harga Rp 8 juta. Biasanya untuk harga mahal tersebut dibuat berdasarkan pesanan khusus. Wajar tapis mahal, karena rumitnya proses pembuatannya. Meski belum punya tapis, baru bisa menikmati keindahan motif dan kehalusan kain tenunnya saja saya sudah bahagia :)
Pesona tapis mengantarkan saya pada pengetahuan baru bahwa kain Tapis merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang berkembang dan hidup di tengah-tengah pergaulan orang-orang Lampung. Ia merupakan pengejawantahan dari kepercayaan masyarakat Lampung terhadap kesakralan, menjadi media membangun struktur sosial, menjadi simbol sifat inklusif masyarakat Lampung, dan dalam paradigma ekonomi kreatif sebagai sumber ekonomi.
Melihat Rekam Jejak Awal Transmigran Lampung di Museum Ketransmigrasian
Provinsi Lampung sudah lama dikenal sebagai cikal bakal daerah penempatan transmigrasi pertama di Indonesia. Transmigrasi tersebut berlangsung pada tahun 1905 saat pemerintahan Hindia Belanda melakukan perpindahan warga dari Desa Bagelen Karasidenan Kedu Provinsi Jawa Tengah ke Provinsi Lampung tepatnya di Desa Bagelen Gedong Tataan, Karasidenan Lampung (sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Pesawaran) sebanyak 155 KK yang lebih dikenal dengan istilah Kolonisasi.
Nah, kalau mau melihat rekam jejak awal transmigran asal Jawa di jaman kolonial hingga koleksi benda bersejarah yang bercorak ketransmigrasian bisa dilihat di Museum Ketransmigrasian yang terletak di Jl. Jend. Ahmad Yani Desa Bagelen Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung.
Museum Nasional Ketransmigrasian tergolong menarik untuk dikunjungi karena merupakan satu-satunya museum yang memberikan pembelajaran mengenai sejarah ketransmigrasian. Museum ini dibangun pada tahun 2004. Penggagasnya adalah Prof. Dr. Muhajir Utomo yang merupakan keturunan langsung dari rombongan transmigran awal yang dikirim Belanda ke Lampung tahun 1905. Pembukaan museum dimulai pada tahun 2010 dan dikelola oleh Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) di bawah Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Sederet koleksi yang ditampilkan berupa benda antik seperti sepeda ontel, peralatan dapur, perabot rumah tangga, alat penerangan, mata uang tempo dulu, hingga alat penumbuk beras. Ada juga beberapa miniatur bangunan rumah yang pernah ditempati oleh transmigran. Ada foto-foto pejabat yang pernah memimpin departemen yang berkenaan dengan transmigrasi.
Danau Ranau, Permata di Lampung Barat
Banyak alasan kenapa saya begitu ingin ke Danau Ranau, salah duanya adalah keindahan dan ketenangan yang dimilikinya. Jauh dari kebisingan, jauh dari polusi. Udaranya segar alami, sejuk sepanjang waktu. Pesona alam sekelilingnya yang bergunung-gunung, memberi kesan sangat mendalam bagi saya ketika berkunjung pertama kali.
Impian saya berkunjung ke Danau Ranau tercapai bulan April 2016 lalu. Perjalanan jauh (245 km) dan lama (7 jam) dari Bandar Lampung ke Liwa saya tempuh ke Bersama Mas Yopie dan keluarga Mbak Ita. Dari Liwa baru lanjut ke Danau Ranau. Melelahkan tapi tetap dinikmati.
Kami bermalam satu malam saja di tepi Danau Ranau. Belum banyak berinteraksi dengan warga setempat. Tapi saya langsung jatuh hati melihat kehidupan masyarakatnya yang masih kental dengan budaya tradisional, sesuatu yang sangat jarang saya jumpai di tengah hiruk pikuknya kota. Rasanya nyaman sekali kala melihat hamparan perkebunan holtikultura seperti kol, tomat, wortel, dll yang diselingi perkebunan kopi rakyat dan areal persawahan. Tempat yang menentramkan.
Gunung Seminung menjulang 1.880 meter di atas permukaan laut menjadi latar belakang dengan nuansa magis. Tebing dan barisan perbukitan menjadi pagar pembatas kemegahannya. Hamparan sawah hijau berpadu dengan air Danau Ranau yang biru seolah menjadi pelataran tempat berbagai jenis ikan berenang. Panggung alam nan elok ini membuat saya rindu. Jika suatu hari berkunjung ke Danau Ranau lagi, paling sedikit 7 hari saya ingin bermalam di sana :)
Kopi Luwak Liwa yang Mendunia
Apa rasanya minum kopi luwak sambil melihat kotoran luwak di tempat pemeliharaan luwak? Campur-campur rasanya! :D
Dalam perjalanan menuju Danau Ranau pada bulan April 2016 lalu saya, Mas Yopie, dan keluarga mbak Ita mampir ke rumah mas Mas Eka (penggiat fotografi asal Liwa yang aktif mengangkat pariwisata Liwa lewat media sosial). Lalu kami diajak Mas Eka ke rumah produksi kopi luwak Ratu Luwak di Way Mengaku, Balik Bukit. Ada 100 ekor luwak dipelihara di sana. Tapi yang boleh kami lihat hanya beberapa ekor luwak yang ada di kandang bagian depan. Kaget juga saat pertama melihat luwak, ternyata badannya lebih besar dari kucing, berbulu tebal, dan punya gigi yang tajam.
Kami bertemu dengan ibu Sapri, pemilik Ratu Luwak. Lewat beliau saya mendapat penjelasan mengenai proses pembuatan kopi luwak. Mulai dari pemberian kopi pada luwak hingga proses penggilingan dan pengemasan. Sempat diajak ke ruang produksi juga. Selain mendapatkan informasi tentang pemeliharaan luwak dan proses pembuatan kopi, kami juga mendapatkan suguhan minuman kopi luwak. Kopi luwak yang pada dasarnya sudah spesial, jadi makin spesial karena diminum di tempat pembuatannya.
Air Terjun Puteri Malu, Permata Bersinar di Way Kanan
Foto-foto keindahan Air Terjun Puteri Malu bertebaran di Instagram @Kelilinglampung_ Tulisan tentang Air Terjun Puteri Malu di blog Mas Yopie (www.yopiefranz.com) makin membuat penasaran. Tiba-tiba nama Way Kanan wara wiri melintas di dalam benak, seperti memanggil-manggil untuk datang. Daripada penasaran, akhirnya kunjungan ke Way Kanan saya realisasikan pada akhir bulan Juli 2016 lalu. Saya tidak sendiri, melainkan ber-enam dengan kawan-kawan blogger dari Batam, Balikpapan, Jogja, dan Lampung.
Air Terjun Puteri Malu bukanlah objek wisata yang mudah untuk dicapai. Setelah berkendara mobil berjam-jam dari Bandar Lampung-Way Kanan, kami harus melanjutkan perjalanan dengan motor trail turun bukit naik bukit selama 1 jam lebih melewati medan terjal sejauh 7 Km. Ngeri-ngeri sedap! Nuansa petualangan memang sangat terasa ketika menuju ke tempat wisata yang satu ini. Buat kamu yang menyukai wisata alam, Air Terjun Puteri Malu adalah pilihan menantang berwisata di Lampung.
Air Terjun Puteri Malu terletak di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Air yang terjun memiliki ketinggian 75 meter. Air Terjun Puteri Malu memiliki keistimewaan yang belum saya jumpai di tempat lainnya. Tebing batu cadas yang menjadi bahu tempat jatuhnya air sangat megah. Sementara di bagian bawah berbalut rumput-rumput hijau bak permadani yang dihamparkan. Suasana alami tempat ini masih sangat terasa, boleh dibilang seperti masih perawan.
Tak jauh dari Air Terjun Puteri Malu terdapat Air Terjun Bukit Duduk. Jaraknya sekitar 100 meter saja. Tinggal jalan kaki naik bukit, turun bukit, sampai di lokasi. Meski tak sederas, sebesar, dan semegah Air Terjun Puteri Malu, air terjun yang satu ini juga punya pemandangan yang amat cantik karena suasana sekitarnya masih sangat asri dan alami.
Rumah Tua Empat Abad di Gedung Batin, Way Kanan
Jelajah Lampung sampai ke Kampung Gedung Batin, bagai sedang jelajah waktu ke masa lampau.
Berbicara tentang rumah adat adalah hal yang biasa karena setiap suku yang ada di Indonesia memiliki rumah adat masing-masing. Tapi di kampung tua Gedung Batin terdapat deretan rumah adat yang mampu bertahan hingga 400 tahun atau sekitar 4 abad. Rumah-rumah panggung di kampung ini ada yang sudah didiami beberapa turunan keluarga. Salah satu pemilik rumah tua yang kami inapi di Gedung Batin merupakan keturunan ke-7. Sampai saat ini rumahnya masih belum goyang.
Rumah-rumah di kampung ini belum ada yang direnovasi, termasuk tiang-tiangnya. Engsel-engsel pintu dan jendelanya masih engsel lama semua. Engsel itu ada yang buatan Inggris dan ada yang buatan Cina. Rumah-rumah desa memakai kayu Mampang. Konon, semakin lama ditancapkan ke tanah, kayunya akan semakin kuat. Sebagian kayu rumah nampak sudah berongga-rongga dimakan rayap, namun masih terlihat kokoh. Barang-barang tua seperti guci, nampan, dan dispenser jaman Belanda, semua masih ada termasuk perabotan tua seperti lemari, meja, kursi, cermin antik, dan bufet berusia ratusan tahun.
Adanya meriam Belanda seberat 3 ton dan masih utuh, menjadi saksi bisu adanya kehidupan di kampung Gedung Batin sejak ratusan tahun lalu. Makam-makam orang dulu pun masih ada. Masyarakat kampung Gedung Batin adalah masyarakat yang ramah. Mereka masih patuh pada aturan dan adat istiadat. Mereka juga teguh mempertahankan kampungnya sebagai tanah kelahiran, dan berharap supaya bisa lestari. Nama Gedung Batin yang terdengar asing justru menjadi sisi misterius yang membuat penasaran. Ada banyak cerita penting bersejarah yang belum terungkap di sini. Inilah salah satu aset berharga kebudayaan Lampung yang harus dijaga dan dilestarikan.
Jelajah Kuliner Lampung
Provinsi Lampung sebagai daerah transmigrasi tumbuh menjadi daerah yang kaya keberagaman. Kekayaan ragam tersebut memengaruhi kekayaan kuliner yang tersaji di Lampung. Makanan seperti Bakso, Pempek Palembang, Pecel Lele, Mie Aceh, Somay Bandung, Masakan Pindang, Nasi Uduk, Nasi Padang, Gudeg Jogja, Sate Madura, Ayam Betutu Bali, Ketoprak Cirebon, hingga masakan Manado pun ada. Untuk masakan asli Lampung ada Seruit, Gulai Taboh, dan Pindang Meranjat. Jadi tidak perlu khawatir kalau kulineran di Lampung, banyak pilihan yang bisa disesuaikan dengan selera.
Meskipun saya sudah beberapa kali ke Lampung, tidak semua kuliner yang ada di Lampung sudah saya cicipi. Baru beberapa saja. Berikut adalah sedikit cerita saya tentang kuliner di Lampung yang pernah saya coba.
Tour Gunung Anak Krakatau yang saya ikuti, serta Parade Lampung Culture dan Tapis Carnival yang saya saksikan dalam event Lampung Krakatau Festival, Pariwisata Indonesia pada bulan Agustus tahun 2015 lalu, merupakan pengalaman sangat berharga yang memberi makna tersendiri bagi saya dalam mengenal dunia pariwisata Lampung.
Jika sebelumnya saya -berani-beraninya- memandang Lampung sebagai provinsi yang miskin daya tarik wisata -maaf ya Lampung-, maka lewat Festival Krakatau pandangan itu mulai berubah. Festival Krakatau seolah jadi gebrakan untuk saya agar mulai melirik beragam potensi wisata Lampung yang selama ini luput dari mata.
Parade Lampung Culture & Tapis Carnival 2015 - Festival Krakatau 2015 |
Gunung Anak Krakatau #Tour Anak Krakatau 2015 #Festival Krakatau 2015 |
Festival Krakatau merupakan salah satu perhelatan kebudayaan unggulan dari Provinsi Lampung yang rutin diadakan setiap tahun. Tahun lalu, rangkaian kegiatan berlangsung sejak tanggal 23 Agustus hingga 30 Agustus, meliputi Pesta Pantai & Food Festival, Krakatau Fes’ Expo, Petualang Nusantara, Tour Anak Krakatau dan Krakatau Jetski Adventure, serta pawai budaya bertajuk Lampung Culture dan Tapis Carnival 2015. Dari seluruh rangkaian kegiatan tersebut, saya mengikuti dua acara terakhir saja.
Kenangan saat menghadiri festival tahun lalu (atas undangan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Lampung) kembali melintas dalam benak saya. Tapi, kenangan berkunjung ke Lampung berkali-kali usai festival yang saya hadiri hanya dua hari itu, lebih banyak memenuhi ruang ingatan saya.
Kenangan mendaki Gunung Anak Krakatau bersama rekan blogger, jurnalis, dan fotografer |
Godaan Lampung Tak Terbendung
Dalam Festival Krakatau tahun lalu, tidak ada kegiatan fam trip yang mengajak saya dan kawan-kawan blogger berkunjung ke tempat-tempat wisata yang ada di Provinsi Lampung. Mungkin karena keterbatasan waktu juga sih ya. Tapi saya sempat diberitahu bahwa di Lampung ada tempat-tempat istimewa yang menarik untuk dikunjungi di lain waktu. Di antaranya Way Kanan Negeri 1000 Air Terjun, Liwa Negeri Kabut, Tanggamus dengan ‘surga-surga’ yang bertebaran dari gunung hingga laut, pulau-pulau dengan panorama bawah air yang indah, kuliner-kuliner lezat, desa pengrajin kain tenun dan batik, dan seterusnya masih banyak lagi.
Saya merasa normal ketika terkejut mengetahui adanya tempat-tempat tersebut. Meski dari sisi lain jadi bukti minimnya pengetahuan saya selama ini. Apa yang saya tahu hanya sebatas gajah-gajah Way Kambas, Gunung Anak Krakatau, atau pun Teluk Kiluan seperti yang sudah banyak dikenal orang. Padahal banyak tempat wisata lainnya di Lampung yang tak kalah memesona. Tempat-tempat dengan daya tarik yang sanggup menumbuhkan rasa penasaran untuk menjelajah dan mengungkap satu persatu keindahan yang masih tersembunyi.
Apakah saya penasaran? Tentu saja. Jadi kapan saya akan menjelajah Lampung?
Gubernur Lampung M.Ridho Ficardo: "Usai festival ini, sering-sering berkunjung ke Lampung ya." Saya: "Tentu pak!" :D |
Jelajah Lampung Sampai ke Ujung
Saya mulai aktif berkunjung ke Lampung baru pada tahun 2016 ini. Berturut-turut dari Januari hingga terakhir kali di bulan Juli. Kadang sendiri, kadang bersama kawan-kawan. Pernah hanya berdua, berlima, dan pernah juga sampai berlima belas. Datang sendiri bisa tenang meresapi keindahan. Datang ramai-ramai bisa seru-seruan. Semua menyenangkan.
Saya bertandang ke sejumlah tempat. Baik ke tempat yang sudah dikenal seperti Kiluan dan Way kambas, hingga ke tempat yang tidak hanya asing di mata, tapi di telinga saya pun tak terdengar sebelumnya. Beberapa tempat dapat dicapai dengan mudah, beberapa yang lainnya dilalui dengan sulit dan melelahkan. Tidak semua destinasi punya akses yang baik. Tapi bagi saya seorang pejalan, kesulitan adalah tantangan yang harus ditaklukkan. Meski demikian, saya menaruh harapan kelak ada perubahan dan perbaikan jalan menuju tempat wisata.
Tempat apa saja yang sudah saya kunjungi di Lampung? Harta karun apa saja yang sudah saya temukan di Lampung? Ikuti terus cerita saya berikut ini yuk...
Bertemu Lumba-Lumba di Teluk Kiluan
Kiluan, sebuah tempat yang menjadi habitat lumba-lumba terbesar di Asia Tenggara. Tempat ini menjadi awal petualangan saya menjelajah Lampung. Objek wisata berbau petualangan ini tidak cukup dicapai dengan berkendara sejauh 75 km selama 3 jam dari Bandar Lampung ke Kelumbayan saja, tapi mesti ditambah dengan naik jukung (perahu tradisional kecil) ke tengah laut selama kurang lebih 2 jam.
Berani menantang gelombang demi bertemu lumba-lumba?
Bertemu lumba-lumba di habitatnya |
Periode Januari-Juli tahun 2016 ini saya sudah 3x ke Kiluan. Pertama bulan Januari, kedua bulan Februari, dan ketiga bulan Juli baru-baru ini. Rasa penasaran yang membuat saya ketagihan datang, pun ada sensasi berbeda saat melihat langsung lumba-lumba di alam bebas. Tiap ke kiluan, pengalaman yang saya dapat selalu berbeda. Kadang bertemu sedikit lumba-lumba, kadang tidak bertemu sama sekali. Belum pernah sampai bertemu ratusan lumba-lumba. Tapi rasa senangnya tetap sama.
Kiluan jadi juara dalam daftar kunjungan saya ke Lampung. Selain jadi yang pertama kali dikunjungi (bukan perjalanan gratis/disponsori), juga jadi yang tersering.
Naik jukung ke tengah laut, demi bertemu lumba-lumba yang tak bisa diajak janjian |
Tidak sulit mencari penginapan di Kiluan. Ada homestay di rumah warga, ada pula penginapan di pulau dan pinggir pantai Kiluan. Saya biasanya menginap di Anjungan Tamong Haji yang terletak di Desa Bandung. Tempatnya di pinggir pantai, tidak dekat dengan rumah penduduk, dan mesti dicapai dengan perahu. Saya suka menginap di sana karena pantai di depan cottage-nya bersih, air lautnya juga jernih, nyaman untuk berenang. Suasana pantainya pun sepi, seakan punya pantai pribadi. Panorama bawah airnya juga cukup menarik untuk dipandangi. Di seberang penginapan ada Pulau Kelapa. Tinggal menyeberang 2-3 menit kalau ingin main-main di pulau itu. Cerita dan foto-foto di Kiluan pernah saya posting di sini.
Pantai Teluk Kiluan, di depan cottage yang saya inapi |
Karang baru tumbuh di antara karang mati yang bisa dilihat saat snorkeling di teluk kiluan |
Saat ke Kiluan yang kedua kali, saya dan kawan-kawan diajak Mas Yopie (fotografer Lampung pemilik blog www.yopiefranz.com) berkunjung ke Laguna Gayau. Laguna Gayau merupakan daya tarik lain yang dimiliki Kiluan. Untuk sampai ke laguna, kami treking sekitar 30 menit dari pantai Desa Bandung Jaya, naik bukit, turun bukit, terakhir jalan kaki melewati pantai penuh batu.
Jadi, di Teluk Kiluan itu ada gugusan karang yang membentuk lekukan berbentuk kolam dan terisi air laut dari ombak yang menerjang karang. Kolam itulah yang dinamakan Laguna Gayau. Cukup melelahkan perjalanannya, tapi terbayar ketika merasakan segarnya berendam di laguna. Berenang di Laguna Gayau pernah saya buat videonya dan pernah ditayangkan di Net TV. Bisa lihat videonya di sini.
Berenang dan berendam di Laguna Gayau ini asik lho.. |
Gigi Hiu, Pesona Batu Karang Raksasa di Pantai Pegadungan
Tak jauh dari Kiluan terdapat gugusan batu layar yang saat ini dikenal dengan julukan Gigi Hiu. Dinamakan Gigi Hiu karena batu karang berukuran raksasa yang berjejer kokoh di dekat bibir pantai menyerupai jejeran Gigi Hiu. Pantai ini juga dikenal dengan Pantai Batu Layar karena bentuk batu-batunya menyerupai deretan layar terkembang. Tapi masyarakat setempat menyebutnya Pantai Pegadungan, sesuai nama desanya.
Jarak pantai dari Kiluan sebenarnya hanya sekitar 5 kilometer saja, tapi kondisi jalan yang belum baik memaksa perjalanan ditempuh sekitar 1 jam. Akhir bulan Juli 2016 lalu, saya dan enam belas orang teman mesti naik ojek motor dari Desa Kiluan Negeri menuju Desa Pegadungan, tempat Gigi Hiu berada. Perjalanan menuju Gigi Hiu menjadi petualangan paling seru dan sarat tantangan. Kami melewati jalan empat musim: Musim batu, musim lumpur, musim cor, musim belukar. He he. Bayangkan, untuk pergi saja perlu waktu satu jam melewati jalan seperti itu.
Ojek-ojek dari Kiluan yang mengantar kami ke Gigi Hiu. Di sini kami turun dari ojek karena ada truk melintang di tengah jalan. Lihat medan jalannya. Ini jalan "musim batu" :D |
Namun, perjalanan berat itu terbayar lunas. Pantai Pegadungan sangat indah, rasanya sulit dilukiskan dengan kata-kata. Barisan batu karang raksasa menjulang megah membentuk tiang-tiang tinggi di pinggir pantai. Ombak deras yang menghempasnya menambah sensasi eksotismenya. Bagi fotografer, sajian pantai penuh bebatuan raksasa ini dijamin membuat mereka bergairah. Gigi Hiu kini memang merupakan ikon spot fotografi Lampung.
Menatap keelokan bongkahan batu yang disapa mentari sore dan deburan ombak di antara karang, menerbangkan seluruh keletihan yang saya alami selama perjalanan. Gigi Hiu adalah sebuah tawaran kedamaian tak terbantahkan dari sudut pesisir Lampung
Berdiri di sini, di antara megahnya batu-batu karang raksasa dan ombak yang menghempasnya |
Bermesraan dengan Gajah Way Kambas
Apa rasanya bermesraan dengan gajah di tempat wisata Lampung yang sudah terkenal se-antero Nusantara? Luar biasa!
Januari 2016 lalu, saya menempuh perjalanan bermobil sejauh 112 kilometer selama 2,5 jam dari Bandar Lampung-Way Kambas demi bertemu gajah-gajah yang selama ini menjadi ikon Provinsi Lampung. Jika di bulan Agustus tahun 2015 saya hanya melihat gajah Lampung melintas di acara parade budaya Festival Krakatau, maka bulan Januari 2016 saya bisa melihat, bahkan menyentuhnya langsung di Taman Nasional Way Kambas (TNWK).
Pertama kali melihat gajah Lampung di acara Parade Budaya Festival Krakatau 2015 |
TNWK merupakan taman nasional perlindungan gajah dan suaka alam dataran rendah dengan luas 126.000 hektar yang terletak di daerah Lampung Timur. TNWK berdiri pada tahun 1985 dan merupakan sekolah gajah pertama di Indonesia. Taman ini menjadi pusat konservasi gajah, pengembangbiakan, pelatihan, dan penjinakan. Selain gajah, kawasan ini juga dihuni hewan Badak Sumatra yang terancam punah. Walau saya tidak berjumpa badak, tapi saya sempat melihat sekawanan monyet dan burung, hewan liar lainnya yang tinggal di TNWK.
Ketika membayar tiket masuk seharga Rp 10.000,- petugas sempat memberitahu bahwa atraksi gajah dan bersafari berkeliling menunggang gajah untuk sementara dihentikan. Perihal penghentian tersebut telah berlangsung sejak pertengahan tahun 2015. Tak masalah buat saya karena menunggang gajah bukan tujuan utama ke Way Kambas. Bertemu saja sudah sangat puas.
Sayangi gajah, maka kamu akan disayang semesta :) |
Dua gajah jantan ini seperti takluk, tenang diajak foto bareng, bikin senang rasa hati :D |
Berdekatan dengan gajah di ‘rumahnya’ bukan hal yang tiap hari bisa dirasakan bukan? Ada banyak gajah yang saya jumpai di TNWK. Empat di antaranya bisa saya dekati, bahkan ada dua yang bisa saya pegang. Sempat ngeri juga sih mendekati gajah yang besar badannya sekian kali lipat dari badan saya hehe. Tapi pemandu berhasil meyakinkan saya untuk berani. Dan benar, dua gajah jantan yang saya dekati seperti takluk. Tidak ganggu apalagi menyeruduk. Saya tidak melewatkan kesempatan itu untuk foto bareng. Langka lho foto dekat banget dengan gajah.
Ada momen terbaik yang tertangkap kamera saat dua gajah jantan saling berhadapan. Momen itu sempat dipotret oleh Mas Yopie dengan menggunakan kamera saya. Enam bulan kemudian, foto dua gajah tersebut dipakai untuk billboard launching Taman Nasional Way Kambas yang dinobatkan sebagai ASEAN Heritage Parks –selamat buat Lampung!- pada tanggal 27 Juli 2016 lalu. Billboard itu dipajang di beberapa tempat strategis di Lampung, salah satunya di jalan menuju bandara Radin Intan. Tiap kali melihat billboard itu, saya terkenang momen bermesraan dengan gajah Way Kambas :)
Kalau kamu ke Lampung, Way Kambas wajib dikunjungi!
Bahagia melihat gajah-gajah ini hidup aman dan nyaman di 'rumah' nya |
Selamat buat TNWK dan Lampung! |
Senang lihat foto gajah yang difoto oleh Mas Yopie pakai kameraku nampang di sini :) *fomo* :p |
Jelajah Tanggamus
Selain Kiluan dan Gigi Hiu, mutiara yang dimiliki kabupaten Tanggamus juga ada di daerah pegunungan. Saya menemukannya pada bulan November 2015 saat diundang oleh Disbudparpora Tanggamus untuk mengikuti kegiatan Festival Teluk Semaka. Bersama kawan blogger, jurnalis, dan fotografer kami diajak mengunjungi objek wisata Tanggamus yang terdapat di Kecamatan Ulu Belu. Di antaranya Air Terjun Lembah Pelangi, Danau Hijau, dan Kawah Belerang.
Dari Kota Agung, ibukota Kabupaten Tanggamus, Ulu Belu kami capai dengan mobil selama 2 jam. Untuk jarak sejauh 60 kilometer, waktu tempuh tersebut cukup lama. Mungkin karena jalan yang dilalui menanjak, menurun, dan banyak kelokan. Membuat mobil tidak melaju terlalu kencang. Di tengah perjalanan menuju Ulu Belu, saya sempat bertanya-tanya, pesona apa yang akan saya jumpai nun jauh di pelosok Tanggamus itu?
Jelajah Tanggamus bareng blogger, jurnalis, fotografer saat Festival Teluk Semaka ke-8 |
Air Terjun Lembah Pelangi, Mutiara Tanggamus yang Membius
Tak hanya indah dan membuat saya berdecak kagum, air terjun ini membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Keelokannya meninggalkan kesan mendalam.
Air Terjun Lembah Pelangi tersimpan di Lembah Pelangi. Letaknya tersembunyi di sela-sela bukit, di antara relung hutan kopi. Butuh perjuangan selama 20 menit jalan kaki dari pemberhentian mobil untuk mencapai lokasi. Jalan yang dilewati cukup terjal. Cocok pagi penikmat wisata alam yang menyukai tantangan. Saya merasa asik-asik saja menuruni lembah. Pegal sih iya, tapi rasa itu hilang saat sudah bertemu dengan air terjun.
Air yang mengalir di bebatuan, gemuruh suara air yang jatuh, dan semburat pelangi yang melengkung di dekat kolam, suasana alam yang asri, menghadirkan rasa takjub bagi siapapun yang melihatnya. Pelangi cantik yang senantiasa terlihat menghiasi air terjun membuat air terjun ini diberi nama Pelangi. Tampak begitu menawan, betapa indah ciptaan Tuhan. Menikmati segarnya air pegunungan, merasakan mandi bareng pelangi, jadi kenangan paling berkesan yang saya dapatkan dari Air Terjun Pelangi.
Air Terjun Pelangi memiliki dua bagian. Yang pertama memiliki ketinggian kurang lebih 50 meter, sedangkan yang kedua terdapat di bawah air terjun yang pertama, namun dengan medan yang lebih curam. Badan harus sedikit merosot untuk mencapainya, bukan berjalan dalam keadaan berdiri tegak. Meskipun sulit, tapi di air terjun kedua terdapat pemandian air panas yang tidak berbau sulfur. Waktu ke sana saya dan kawan-kawan tidak punya cukup waktu untuk merasakan berendam air panas.
Air Terjun Lembah Pelangi |
Mandi bareng pelangi *Photo by Yopie Pangkey* |
Foto mandi bareng pelangi di Majalah 'Beautiful Lampung' yang dibuat oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Lampung edisi Tahun 2016 |
Jangan Lewatkan Danau Hijau dan Kawah Belerang
Selain Air Terjun Lembah Pelangi, terdapat dua objek wisata menarik lainnya yang sayang untuk dilewatkan di Ulu Belu, yaitu Danau Hijau dan Kawah Belerang.
Dinamakan Danau Hijau karena air di dalam danau berwarna hijau. Danau yang terletak di pinggir jalan menuju Geothermal Ulu Belu ini mengeluarkan aroma belerang. Airnya hangat disebabkan oleh adanya bongkahan belerang mendidih di dasar danau. Di sini bisa duduk-duduk santai di pondok menikmati suasana danau sambil minum kopi, ditemani semilir angin yang berembus sepoi-sepoi. Bisa juga naik perahu getek, keliling danau, atau menyeberang, lalu naik bukit melihat kawah belerang yang ada di atas bukit.
Danau Hijau |
Kawah Putih di Bandung penuh air, kawah di Ulu Belu kering, bisa jalan-jalan di permukaannya :D |
Suasana asri di sekitar kawah, cakep buat foto-foto *Photo by Yopie Pangkey* |
Menengok Keindahan Air Terjun Way Lalaan
Air Terjun Way Lalaan merupakan air terjun pertama yang saya kunjungi di Tanggamus. Terletak di pekon Kampung Baru Kecamatan Kota Agung Timur Kabupaten Tanggamus, Lampung. Dikelola oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Tanggamus bersama Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang beranggotakan warga sekitar. Jika sedang berlibur ke Kota Agung bisa sempatkan mampir ke sini. Lokasinya dekat jalan raya lintas barat Sumatra (Jalinbarsum) yang menghubungkan Bandar Lampung dan Kota Agung, sekitar 300 meter dari sisi kiri jalan. Dari pintu gerbang tinggal masuk, parkir (jika bawa kendaraan), lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki menuruni anak tangga batu sepanjang 75m. Konon air terjun yang berasal dari aliran Way Lalaan yang bermuara ke Teluk Semaka ini telah di kenal sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda, sekitar tahun 1937. Tangga batu menuju lembah air terjun telah dibuat pada masa itu.
Saya dan kawan-kawan tiba di Air Terjun Way Lalaan pada sore hari. Suasana tampak sepi dan terasa begitu tenang karena sudah tidak ada pengunjung lain. Usai menikmati durian di area parkir kendaraan, saya mencoba menuruni tangga batu, melihat dari dekat air yang jatuh dari ketinggian 11-an meter. Suasana hijau di sekitar, bunyi air yang jatuh, membuat saya terhanyut dalam petang yang syahdu. Ada rasa ingin main air, tapi sayangnya hari sudah terlalu sore, keinginan itu pun ditahan dulu. Mungkin lain kali saat ke Tanggamus lagi.
Menghabiskan sore di Air Terjun Way Lalaan |
Tanggamus Punya Batik
Pernah lihat batik Tanggamus? Atau sudah pernah pakai? Kalau saya, jangankan keduanya, baru dengar Tanggamus punya batik saja tidak percaya hehe. Kalau bukan jadi bagian dari kegiatan Festival Teluk Semaka, mana saya tahu kalau Tanggamus punya batik.
Saya dan rombongan media diajak mengenal batik Tanggamus di Sanggar Ratu binaan Dekranasda Tanggamus yang terletak di Pekon Banding Agung, Kecamatan Talang Padang yang pengrajinnya adalah Bapak Omansyah Adok Minak Jaga. Sanggar Ratu merupakan wadah para perajin lokal, juga sarana promosi handycraft Kabupaten Tanggamus, baik itu pengrajin batik maupun lainnya.
Motif batik Tanggamus bernuansa bahari. Ada motif Bung Lumba, motif Bunga Kamphai (buah tomat kecil/ cherry) dan motif batik Sanggi. Batik Sanggi ini punya motif yang kental dengan nuansa pesisirnya, berbentuk gambar ketinting atau jukung (perahu khas Lampung), cadik, pohon ara (pohon kehidupan) dan nelayan. Dilihat dari motif-motif tersebut, Tanggamus seperti ingin memperkenalkan kemaritiman Indonesia dalam bentuk batik dan pewarnaannya.
Nuansa bahari di secarik kain batik Tanggamus. Motif dan warna-warna kainnya cantik :) |
Mengenal Kain Tradisional Tapis di Tanggamus
Saya mulai familiar dengan Tapis saat menyaksikan Tapis Carnival 2015 di acara Festival Krakatau tahun lalu. Sebelum itu, saya ragu pernah tahu. Kain tenun khas Sumatera yang selama ini saya akrabi kebanyakan songket Palembang, Padang, Bengkulu, Jambi, dan Aceh. Sejak tahu tapis, bertambah daftar jenis kain tradisional Sumatera yang saya kagumi.
Nah, selain batik, di Sanggar Ratu yang kami kunjungi juga terdapat kain tapis dan sulam usus. Semua karya warga binaan. Menurut Ibu Oman, untuk motif dan desain, mereka yang tentukan, lalu perajin membuatnya berdasarkan pesanan. Penduduk Talang Padang, khususnya perempuan menjadikan kegiatan menenun tapis sebagai mata pencaharian. Desa ini memang merupakan sentra kerajinan tapis dan batik di Tanggamus.
Pesona kain Tapis di acara Tapis Carnival 2015 - Festival Krakatau 2015 |
Harga jual satu helai kain tapis berkisar mulai dari Rp 800 ribu hingga Rp 3 juta. Ada juga yang dijual dengan harga Rp 8 juta. Biasanya untuk harga mahal tersebut dibuat berdasarkan pesanan khusus. Wajar tapis mahal, karena rumitnya proses pembuatannya. Meski belum punya tapis, baru bisa menikmati keindahan motif dan kehalusan kain tenunnya saja saya sudah bahagia :)
Pesona tapis mengantarkan saya pada pengetahuan baru bahwa kain Tapis merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang berkembang dan hidup di tengah-tengah pergaulan orang-orang Lampung. Ia merupakan pengejawantahan dari kepercayaan masyarakat Lampung terhadap kesakralan, menjadi media membangun struktur sosial, menjadi simbol sifat inklusif masyarakat Lampung, dan dalam paradigma ekonomi kreatif sebagai sumber ekonomi.
Kain-kain tapis karya penduduk Talang Padang, Tanggamus. Sangat indah :) |
Melihat Rekam Jejak Awal Transmigran Lampung di Museum Ketransmigrasian
Provinsi Lampung sudah lama dikenal sebagai cikal bakal daerah penempatan transmigrasi pertama di Indonesia. Transmigrasi tersebut berlangsung pada tahun 1905 saat pemerintahan Hindia Belanda melakukan perpindahan warga dari Desa Bagelen Karasidenan Kedu Provinsi Jawa Tengah ke Provinsi Lampung tepatnya di Desa Bagelen Gedong Tataan, Karasidenan Lampung (sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Pesawaran) sebanyak 155 KK yang lebih dikenal dengan istilah Kolonisasi.
Nah, kalau mau melihat rekam jejak awal transmigran asal Jawa di jaman kolonial hingga koleksi benda bersejarah yang bercorak ketransmigrasian bisa dilihat di Museum Ketransmigrasian yang terletak di Jl. Jend. Ahmad Yani Desa Bagelen Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung.
Gedung Museum Ketransmigrasian, besar dan banyak isinya |
Museum Nasional Ketransmigrasian tergolong menarik untuk dikunjungi karena merupakan satu-satunya museum yang memberikan pembelajaran mengenai sejarah ketransmigrasian. Museum ini dibangun pada tahun 2004. Penggagasnya adalah Prof. Dr. Muhajir Utomo yang merupakan keturunan langsung dari rombongan transmigran awal yang dikirim Belanda ke Lampung tahun 1905. Pembukaan museum dimulai pada tahun 2010 dan dikelola oleh Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) di bawah Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Sederet koleksi yang ditampilkan berupa benda antik seperti sepeda ontel, peralatan dapur, perabot rumah tangga, alat penerangan, mata uang tempo dulu, hingga alat penumbuk beras. Ada juga beberapa miniatur bangunan rumah yang pernah ditempati oleh transmigran. Ada foto-foto pejabat yang pernah memimpin departemen yang berkenaan dengan transmigrasi.
Perabotan dapur transmigran tempo dulu |
Sepeda ontel yang digunakan transmigran tempo dulu |
Danau Ranau, Permata di Lampung Barat
Banyak alasan kenapa saya begitu ingin ke Danau Ranau, salah duanya adalah keindahan dan ketenangan yang dimilikinya. Jauh dari kebisingan, jauh dari polusi. Udaranya segar alami, sejuk sepanjang waktu. Pesona alam sekelilingnya yang bergunung-gunung, memberi kesan sangat mendalam bagi saya ketika berkunjung pertama kali.
Impian saya berkunjung ke Danau Ranau tercapai bulan April 2016 lalu. Perjalanan jauh (245 km) dan lama (7 jam) dari Bandar Lampung ke Liwa saya tempuh ke Bersama Mas Yopie dan keluarga Mbak Ita. Dari Liwa baru lanjut ke Danau Ranau. Melelahkan tapi tetap dinikmati.
Danau Ranau dan Gunung Seminung di latar belakang |
Duduk-duduk di dermaga apung, menikmati suasana petang di Danau Ranau |
Kami bermalam satu malam saja di tepi Danau Ranau. Belum banyak berinteraksi dengan warga setempat. Tapi saya langsung jatuh hati melihat kehidupan masyarakatnya yang masih kental dengan budaya tradisional, sesuatu yang sangat jarang saya jumpai di tengah hiruk pikuknya kota. Rasanya nyaman sekali kala melihat hamparan perkebunan holtikultura seperti kol, tomat, wortel, dll yang diselingi perkebunan kopi rakyat dan areal persawahan. Tempat yang menentramkan.
Gunung Seminung menjulang 1.880 meter di atas permukaan laut menjadi latar belakang dengan nuansa magis. Tebing dan barisan perbukitan menjadi pagar pembatas kemegahannya. Hamparan sawah hijau berpadu dengan air Danau Ranau yang biru seolah menjadi pelataran tempat berbagai jenis ikan berenang. Panggung alam nan elok ini membuat saya rindu. Jika suatu hari berkunjung ke Danau Ranau lagi, paling sedikit 7 hari saya ingin bermalam di sana :)
Bapak dan anaknya, menyeberangi danau di pagi hari |
Seorang warga mengayuh perahu, memeriksa jaring ikan di pagi hari |
Kopi Luwak Liwa yang Mendunia
Apa rasanya minum kopi luwak sambil melihat kotoran luwak di tempat pemeliharaan luwak? Campur-campur rasanya! :D
Dalam perjalanan menuju Danau Ranau pada bulan April 2016 lalu saya, Mas Yopie, dan keluarga mbak Ita mampir ke rumah mas Mas Eka (penggiat fotografi asal Liwa yang aktif mengangkat pariwisata Liwa lewat media sosial). Lalu kami diajak Mas Eka ke rumah produksi kopi luwak Ratu Luwak di Way Mengaku, Balik Bukit. Ada 100 ekor luwak dipelihara di sana. Tapi yang boleh kami lihat hanya beberapa ekor luwak yang ada di kandang bagian depan. Kaget juga saat pertama melihat luwak, ternyata badannya lebih besar dari kucing, berbulu tebal, dan punya gigi yang tajam.
Seekor luwak sedang memakan biji kopi di pohon kopi |
Berani pegang karena luwaknya masih bayi :D |
Kami bertemu dengan ibu Sapri, pemilik Ratu Luwak. Lewat beliau saya mendapat penjelasan mengenai proses pembuatan kopi luwak. Mulai dari pemberian kopi pada luwak hingga proses penggilingan dan pengemasan. Sempat diajak ke ruang produksi juga. Selain mendapatkan informasi tentang pemeliharaan luwak dan proses pembuatan kopi, kami juga mendapatkan suguhan minuman kopi luwak. Kopi luwak yang pada dasarnya sudah spesial, jadi makin spesial karena diminum di tempat pembuatannya.
Menikmati suguhan kopi luwak di Ratu Luwak. Mantap kopinya! |
Air Terjun Puteri Malu, Permata Bersinar di Way Kanan
Foto-foto keindahan Air Terjun Puteri Malu bertebaran di Instagram @Kelilinglampung_ Tulisan tentang Air Terjun Puteri Malu di blog Mas Yopie (www.yopiefranz.com) makin membuat penasaran. Tiba-tiba nama Way Kanan wara wiri melintas di dalam benak, seperti memanggil-manggil untuk datang. Daripada penasaran, akhirnya kunjungan ke Way Kanan saya realisasikan pada akhir bulan Juli 2016 lalu. Saya tidak sendiri, melainkan ber-enam dengan kawan-kawan blogger dari Batam, Balikpapan, Jogja, dan Lampung.
Air Terjun Puteri Malu bukanlah objek wisata yang mudah untuk dicapai. Setelah berkendara mobil berjam-jam dari Bandar Lampung-Way Kanan, kami harus melanjutkan perjalanan dengan motor trail turun bukit naik bukit selama 1 jam lebih melewati medan terjal sejauh 7 Km. Ngeri-ngeri sedap! Nuansa petualangan memang sangat terasa ketika menuju ke tempat wisata yang satu ini. Buat kamu yang menyukai wisata alam, Air Terjun Puteri Malu adalah pilihan menantang berwisata di Lampung.
Ngojek motor trail sejauh 7 kilometer |
Foto bareng abang-abang ojek yang telah mengantarkan kami dengan selamat pergi dan pulang dari Air Terjun Putri Malu |
Air Terjun Puteri Malu terletak di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Air yang terjun memiliki ketinggian 75 meter. Air Terjun Puteri Malu memiliki keistimewaan yang belum saya jumpai di tempat lainnya. Tebing batu cadas yang menjadi bahu tempat jatuhnya air sangat megah. Sementara di bagian bawah berbalut rumput-rumput hijau bak permadani yang dihamparkan. Suasana alami tempat ini masih sangat terasa, boleh dibilang seperti masih perawan.
Tak jauh dari Air Terjun Puteri Malu terdapat Air Terjun Bukit Duduk. Jaraknya sekitar 100 meter saja. Tinggal jalan kaki naik bukit, turun bukit, sampai di lokasi. Meski tak sederas, sebesar, dan semegah Air Terjun Puteri Malu, air terjun yang satu ini juga punya pemandangan yang amat cantik karena suasana sekitarnya masih sangat asri dan alami.
Air Terjun Puteri Malu. Keindahan dan kemegahan yang tak terbantahkan |
Main air bersama teman di tempat seindah ini, terasa istimewa |
Air Terjun Bukit Duduk, tak jauh dari Air Terjun Puteri Malu |
Rumah Tua Empat Abad di Gedung Batin, Way Kanan
Jelajah Lampung sampai ke Kampung Gedung Batin, bagai sedang jelajah waktu ke masa lampau.
Berbicara tentang rumah adat adalah hal yang biasa karena setiap suku yang ada di Indonesia memiliki rumah adat masing-masing. Tapi di kampung tua Gedung Batin terdapat deretan rumah adat yang mampu bertahan hingga 400 tahun atau sekitar 4 abad. Rumah-rumah panggung di kampung ini ada yang sudah didiami beberapa turunan keluarga. Salah satu pemilik rumah tua yang kami inapi di Gedung Batin merupakan keturunan ke-7. Sampai saat ini rumahnya masih belum goyang.
Rumah tua berusia 300-an tahun |
Rumah tua berusia 400 tahun |
Rumah-rumah di kampung ini belum ada yang direnovasi, termasuk tiang-tiangnya. Engsel-engsel pintu dan jendelanya masih engsel lama semua. Engsel itu ada yang buatan Inggris dan ada yang buatan Cina. Rumah-rumah desa memakai kayu Mampang. Konon, semakin lama ditancapkan ke tanah, kayunya akan semakin kuat. Sebagian kayu rumah nampak sudah berongga-rongga dimakan rayap, namun masih terlihat kokoh. Barang-barang tua seperti guci, nampan, dan dispenser jaman Belanda, semua masih ada termasuk perabotan tua seperti lemari, meja, kursi, cermin antik, dan bufet berusia ratusan tahun.
Kursi tua seusia rumah |
Barang-barang tua sejak jaman Belanda |
Adanya meriam Belanda seberat 3 ton dan masih utuh, menjadi saksi bisu adanya kehidupan di kampung Gedung Batin sejak ratusan tahun lalu. Makam-makam orang dulu pun masih ada. Masyarakat kampung Gedung Batin adalah masyarakat yang ramah. Mereka masih patuh pada aturan dan adat istiadat. Mereka juga teguh mempertahankan kampungnya sebagai tanah kelahiran, dan berharap supaya bisa lestari. Nama Gedung Batin yang terdengar asing justru menjadi sisi misterius yang membuat penasaran. Ada banyak cerita penting bersejarah yang belum terungkap di sini. Inilah salah satu aset berharga kebudayaan Lampung yang harus dijaga dan dilestarikan.
Yuk jelajah waktu di Kampung Gedung Batin :) |
Jelajah Kuliner Lampung
Provinsi Lampung sebagai daerah transmigrasi tumbuh menjadi daerah yang kaya keberagaman. Kekayaan ragam tersebut memengaruhi kekayaan kuliner yang tersaji di Lampung. Makanan seperti Bakso, Pempek Palembang, Pecel Lele, Mie Aceh, Somay Bandung, Masakan Pindang, Nasi Uduk, Nasi Padang, Gudeg Jogja, Sate Madura, Ayam Betutu Bali, Ketoprak Cirebon, hingga masakan Manado pun ada. Untuk masakan asli Lampung ada Seruit, Gulai Taboh, dan Pindang Meranjat. Jadi tidak perlu khawatir kalau kulineran di Lampung, banyak pilihan yang bisa disesuaikan dengan selera.
Meskipun saya sudah beberapa kali ke Lampung, tidak semua kuliner yang ada di Lampung sudah saya cicipi. Baru beberapa saja. Berikut adalah sedikit cerita saya tentang kuliner di Lampung yang pernah saya coba.
Pindang Baung Dapoer Tatu Bandar Lampung
Sama halnya dengan Palembang, di Lampung juga ada Pindang Baung. Kalau makan pindang Baung Palembang saya sudah biasa, pindang baung Lampung yang belum pernah. Pertama kali makan pindang baung Lampung tahun lalu, saat Festival Krakatau 2015.
Kalau berkunjung ke Lampung, kuliner khas yang satu ini wajib dicoba. Dapoer Tatu merupakan salah satu dari sekian banyak rumah makan pindang di Lampung. Pondok makan ini terletak di Jl. Putri Balau No 24, Kedamaian, Bandar Lampung. Coba deh pindangnya, sedap dan bikin nagih. Di sini, kuahnya pindangnya lebih merah, kaya cita rasa dengan rasa pedas dan asam yang sangat menonjol. Ikannya segar, tidak amis, dan gurih. Di Dapoer Tatu juga tersedia banyak pilihan pindang, di antaranya pindang kepala simba, pindang patin, dan pindang iga sapi.
Sudah pernah coba masakan Pindang Baung, Pindang Patin, Pepes Tempoyak Patin ini? |
Bakso Sony, Bakso Paling Enak di Lampung
“Kalau ke Lampung, jangan lupa mampir makan bakso Sony.” Begitu pesan teman-teman yang pernah ke Lampung. Penasaran ga sih kalau banyak yang berpesan begitu tiap kali kita mau ke Lampung? Pastinya jadi bertanya-tanya, “Emangnya seenak apa?”
Kepopuleran Bakso Sony selain karena memang sudah punya nama, juga karena baksonya memang enak. Saya sudah dua kali mencicipi Bakso Sony. Petualangan lidah saya yang telah mencicipi berbagai macam bakso kemudian bersepakat bahwa bakso Sony di Lampung ini memang enak. Kalau saya lihat daging baksonya memang banyak, minim terigu. Kuahnya pun sedap. Bikin nambah.
Pusat Bakso Sony ada di Jl. Wolter Monginsidi (dekat RS Bumi Waras). Sedangkan cabangnya ada di Jl. Z.A Pagar Alam (dekat Teknokrat), Jl. Raden Intan (sebelum Gramedia), dan di Jl. Cut Nyak Dien (dekat RM Garuda di depan Chandra pasar bawah. Bakso Sony buka dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam.
Bakso terkenal enak di Lampung |
Kami sudah mencicipi bakso Sony. Kamu? |
Pindang Simba Rumah Makan Ika di Pesawaran
Rumah Makan Ika terletak di pinggir jalan raya Way Ratay, Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran dengan jarak tempuh kurang lebih 30 menit dari Bandar Lampung. Kalau sedang dalam perjalanan dari Bandar Lampung menuju pantai Mutun, Pantai Klara atau ke Teluk Kiluan pasti akan melewati rumah makan ini.
Sebanyak tiga kali ke Kiluan, saya sudah dua kali menikmati Pindang Kepala Simba. Ikan simba adalah ikan laut besar berdaging tebal. Disebut juga ikan Kuwe. Sama seperti masakan pindang ikan lainnya, kuah pindang kepala simba ini kaya cita rasa. Disuguhkan dalam keadaan panas, ditemani sambal dan aneka lalapan segar. Kuah pindang terbuat dari aneka bumbu seperti lengkuas, serai, kemiri, jahe, kunyit, bawang putih, bawang merah, dan santan. Cabe yang digunakan cabe rawit merah, itu sebabnya kuahnya merah dan pedas. Sedapnya kuah pindang ini yang bikin ingin nambah lagi dan lagi.
Selain menu utama pindang ikan, Rumah Makan Ika juga menyajikan menu seafood lain seperti ikan kerapu, bawal, gurame bakar/goreng, aneka masakan udang dan cumi serta telur ikan goreng yang jadi favorit pengunjung. Tumis kangkung terasi disini juga enak banget rasanya.
Sedapnya Pindang Kepala Simba bikin ketagihan |
Bareng kawan-kawan menikmati Pindang Simba di RM Ika - Pesawaran. Kamu sudah ke sini? |
Ikan Nila Bakar RM. Khang Mengan Jejama di Liwa
Rumah makan ini terletak di Jalan Raden Intan, Way Mengaku, Liwa Lampung Barat. Saya makan siang di sini saat akan berwisata ke Danau Ranau bersama Mas Yopie dan keluarga mbak Ita.
Menu andalan yang jadi favorit pengunjung di rumah makan ini adalah Gulai Taboh. Taboh menurut bahasa Lampung berarti santan. Masakan satu ini bahan utamanya ikan gabus atau ikan nila. Sajiannya bisa utuh satu ekor ikan yang telah dipanggang atau dipotong dadu. Konon, dulunya Gulai Taboh merupakan sajian khusus para raja dan tamu. Di masa kini, gulai taboh sudah jadi menu sehari-sehari masyarakat Liwa.
Sayangnya saat kami datang gulai taboh sudah habis. Kami memesan menu lain yang tak kalah enak yaitu ikan nila bakar hasil budi daya Danau Ranau. Lengkap dengan sambal, lalapan, dan sayur asam. Saya suka rasa daging ikannya yang segar, terasa gurih. Cocok ya, berwisata ke Danau Ranau makannya ikan yang diambil dari danau tersebut. Rumah makan ini cukup sering jadi andalan wisatawan yang sedang berlibur ke Liwa. Jadi kalau ke Liwa, coba masakan asli daerah ini yuk.
Ikan Nila Bakar hasil budi daya Danau Ranau ini gurih dan lezaaaat banget! |
Jelajah Lampung Belum Berujung
Begitu banyak tempat-tempat menarik di Lampung, seperti tak habis-habis untuk dijelajahi.
Contohnya di Way Kanan, baru dua air terjun yang saya kunjungi. Padahal di sana ada 45 air terjun yang belum semuanya tereksplorasi secara maksimal. Di kabupaten Tanggamus pun kabarnya ada lagi tempat wisata baru yang tak lama lagi akan diangkat sebagai destinasi andalan. Jika objek wisata di Lampung terus bertambah, kapan selesainya saya jelajah Lampung? he he. Terhitung enam kali saya bertandang ke Lampung dalam satu tahun terakhir ini, tapi masih banyak tempat menakjubkan lainnya yang belum saya kunjungi. Di antaranya Bukit Bawang Bakung di Liwa (saya suka kabut!), Suoh, Pulau Pisang, Teluk Lampung, Pulau Pahawang, Pulau Kelagian, Pulau Tanjung Putus, Air Terjun Sinar Tiga, Curup Gangsa, dan masih banyak lagi.
Saya belum mencicipi Gulai Taboh. Saya belum menyaksikan pesta sekura di Liwa. Saya belum lihat ini dan itu, banyak sekali!
Selalu ada alasan untuk kembali ke Lampung. Selalu ada keinginan untuk jelajah Lampung sampai ujung ^_^
Seni dan budaya Lampung nan memikat |
Lampung - The Treasure of Sumatra
Provinsi Lampung memiliki potensi wisata yang amat beragam dan menakjubkan dengan tiga karakteristik daya tarik wisatanya yaitu wisata alam, budaya, dan sejarah yang tersebar di beberapa kabupaten dan Kota se-Provinsi Lampung.
Keragaman budaya dan seni, kuliner, serta keindahan alamnya yang masih alami dan menyegarkan, tidak pernah berhenti memikat hati. Selalu ada rindu untuk kembali ke Lampung. Rindu pada keramahan orang-orangnya, rindu pada keelokan alamnya, rindu pada keragaman budaya hidup masyarakatnya, rindu pada aneka kuliner daerah yang dimilikinya.
Dengan semua kekayaan yang dimilikinya, tak heran jika tahun ini Lampung mengklaim daerahnya dengan sebutan The Treasure of Sumatra.
Nah, kapan giliran kamu bertandang ke Lampung? Tahun 2016 ini, Festival Krakatau kembali digelar mulai tanggal 24-28 Agustus. Rangkaian kegiatannya tak kalah menarik, meliputi Pasar Seni, Jelajah Layang-layang, Jelajah Rasa, Jelajah Krakatau, Jelajah Semarak Budaya, hingga Investor Summit.
Jika kamu datang dan menyaksikan, siapa tahu Festival Krakatau 2016 dapat menginspirasimu untuk melakukan perjalanan wisata ke Lampung, mengikuti jejak saya, bertualang seru jelajah Lampung dari waktu ke waktu.
Untuk keterangan lebih lanjut tentang event Festival Krakatau 2016, silakan kunjungi website http://lampungkrakataufest.com/
0 komentar:
Posting Komentar